Jumat, 05 Juli 2019

Refilosofi Fiqh dalam Rukhshah Ibadah Kaum Difabilitas


 Refilosofi Fiqh dalam Rukhshah Ibadah Kaum  Difabilitas
Alaik Ridhallah[1]
Abstrak

Dalam Islam anak merupakan amanat, generasi yang akan memperjuangkan keberlangsungan ajaran agama.  Demi suksesnya kepemimpinan yang berkelanjutan. Namun, yang dimaksud adalah anak dalam keadaan sehat (red; normal) baik  jasmani dan rukhani. Biasanya orang yang mengalami tumbuh tidak normal, orang menyebutnya dengan difabel, atau difabilitas (orang mempunyai kebutuhan khusus). Di sisi lain, orang yang tak berkembang sesuai orang normal lainnya malah dipandang sebelah mata dianggap aib bagi keluarga, bahkan keadaannya pun ditutup-tutupi. Ironisnya, dalam melaksanakan ibadah yang semestinya dijalankan oleh orang normal, saat dewasapun kalau tak melakukannya dianggap biasa, dengan alasan tidak dapat di-taklif agama. Namun semestinya tidak demikian, karena agama memberikan kemurahan (rukhshah) mengenai tata cara ibadah bagi orang yang tidak dapat menjalankannya sesuai dengan fiqh. Tulisan ini merangkan kaum difabel dalam agama, serta tata cara ibadahnya, dan hal pengkhususan baginya, serta apa makna khusus (red; filosofi) ibadah yang berbeda dengan kaum normal.
Keywords ; difabilitas, agama, ibadah


Penggunaan kata Difabilitas


Ada beberapa istilah yang selama ini digunakan untuk menyebut “keberbedaan” baik secara fisik maupun mental yang dimiliki oleh seseorang. Cacat, tuna netra, tuna daksa, dan sebagainya, yang semuanya terangkum dalam kata disabilitas. Disabilitas adalah istilah yang diderivasi dari kata disability, sebuah kata benda dalam bahasa Inggris yang merupakan bentukan dari kata sifat disable (tidak mampu) yang merupakan antonim dari able (mampu). Kata disability secara literal bermakna ketidakmampuan. Dengan menggunakan istilah tersebut, maka ada suatu pandangan yang menyertainya, yaitu bahwa orang-orang yang memiliki kelainan fisik adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas apapun.[2]

Adapun kata difabilitas-lah yang cocok untuk menyebutnya, karena merupakan singkatan dari different ability (kemampuan yang berbeda). Sedangkan orang-orangnya disebut dengan kaum diffable (difabel) differently able (memiliki kemampuan secara berbeda). Menggunakan pilihan kata ini, maka bayangan yang lebih positif dan adil terhadap kaum diffabel bisa diberikan.


Kewajiban melaksanakan Ibadah Fi’liyyah


Sudah kita ketahui bahwasannya rukun Islam ada lima yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Shalat merupakan amalan penting dalam Islam, karena shalat adalah pembeda antara mukmin dan kafir. Shalat juga merupakan amal pertama kali yang akan dihisab pada hari kiamat. Jika seseorang shalatnya baik, maka sungguh ia akan sukses dan selamat. Dan jika shalatnya kurang, maka ia akan celaka dan merugi. Keterangan tadi menandakan bahwasanya shalat adalah ibadah yang urgen dan harus dilaksanakan kaum muslim. Dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, asalkan akalnya masih berfungsi ibadah itu harus tetap dijalankan. Misalnya, orang yang sedang dalam keadaan sakit tetap diwajibkan shalat meskipun cara pelaksanaannya berbeda, dengan duduk, tidur menyamping maupun hanya dengan isyarat.
Pengertian shalat menurut syara’ ialah beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam. Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan “shalat”, karena shalat menurut bahasa adalah doa.[3] Di dalam shalat terdapat syarat dan rukun yang harus terpenuhi. Adapun salah satu syarat hang harus terpenuhi ialah suci dari hadas besar dan kecil. Sudah kita ketahui bahwasannya untuk menghilangkan hadas besar dengan cara mandi junub (mengalirkan air rata ke seluruh tubuh), kalau hadas kecil dengan cara berwudhu. Hal itu  terdapat dalam qaidah ushul Fiqh مالا يتم الواجب الا به فهو واجب   (sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka hukumnya wajib). Dalam hal ini sebelum melaksanakan shalat, hukum mengambil air wudhu adalah wajib.[4]
Tata cara berwudhu sudah diatur dalam literatur-literatur fiqh mazhab, rukun wudhu ada enam. Niat dibarengi membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai ke siku, menyapu sebagian kepala, membasuh kedua telapak kaki sampai kedua mata kaki, menertibkan rukun-rukun di atas.[5] Dari rukun itu kita dapat membedakan adanya kata “membasuh” dan “mengusap”. Pengertian membasuh ialah dengan cara mengalirkan air, adapun mengusap ialah hanya menyapu dengan air. Seperti membasuh muka berarti mengalirkan air di muka. Menyapu sebagian kepala berarti mengusap sebagian kepala dengan air. Demikian pula dalam tayammum, yakni niat, mengusap muka dengan tanah, mengusap kedua tangan sampai ke siku dengan tanah, menertibkan rukun-rukun.[6] 

Dalam contoh ibadah fi’liyyah di atas tadi, orang difabilitas diharuskan juga untuk mengerjakannya karena sebuah kewajiban yang masuk dalam rukun Islam dan harus dijalankan. Namun dengan cara yang berbeda atau kekhususan cara yang sudah dimasukkan dalam ruang lingkup rukhshah (keringanan).


Pengertian Rukhshah

Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ  (Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada, karena adanya udzur).
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu :
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3.  Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Swt. pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan.[7]
Ulama Hanafiyyah membagi rukhshah menjadi lima bagian :[8]
1.       Diperbolehkan melakukan hal yang haram atau saat dibutuhkan (dalam keadaan mendesak) : seperti mengucapkan bahwa saya kafir ketika dalam keadaan terdesak  akan dibunuh atau akan dipotong anggota tubuhnya, dengan ketentuan hatinya tetap iman. Qur’an surat al-nahl ayat 106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa). Bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging babi padahal asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 173 “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

2.       Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.
3.       Diperbolehkannya melakukan akad-akad dan tasharruf untuk memenuhi kebutuhan manusia meskipun bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan ulama, seperti akad salam, karena sesungguhnya akad salam itu jual beli yang  tidak wujud, dan jual beli semacam itu akan batal (red; tidak sah). Tetapi syariat membolehkannya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seperti akad istishna’ (memproduksi).
  
4.       Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksanakannya, karena berat seperti  syariat-syariat umat terdahulu untuk meringankan umat Islam sekarang. Contoh, disyaratkannya bunuh diri untuk bertaubat dari maksiat, memotong pakaian yang terkena najis guna untuk mensucikannya, dan diwajibkannya seperempat dari harta untuk melaksanakan zakat, batalnya pelaksanaan shalat ketika tidak dilakukan di tempat yang telah dikhususkan atau ditentukan.             
Intisari ; sesungguhnya rukhshah menurut ulama hanafiyyah ada kalanya mubah, atau wajib. Dan membaginya lagi menjadi rukhshah tarfiyah dan rukhshah al-isqath.
Rukhshah Tarfiyah ialah : adanya ketetapan hukum syariat yang didasari dalil tetap, akan tetapi rukhshah ini untuk meringankan, seperti yang telah diterangkan dalam bagian pertama yakni ikrar kafir ketika dalam keadaan mendesak (meskipun aslinya mengaku kafir itu murtad), atau membatalkan puasa ramadhan ketika dalam keadaan membayahakan diri (padahal asal hukumnya menjalankan puasa itu wajib).
Rukhshah al-isqath : rukhshah yang bersamaannya tidak ada hukum tetap dalam syariah, seperti dibolehkannya memakan bangkai maupun meminum khomr (arak) ketika dalam keadaan yang mendesak.
Adapun dalam kaidah fiqh diterangkan المشقة تجلب التيسر  (Kesulitan akan menarik pada kemudahan), Allah berfirman dalam al-Qur’an (وما جعل عليكم في الدين من حرج)[9].  Di sini batasan masyaqat (kesulitan) Al-Imam Abdul Rahman al-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul al-asybah wa al-Nadhair menyatakan bahwasannya kesulitan itu ada dua macam :[10]
1.       Masyaqat yang pada umumnya tidak menggugurkan ibadah.
Misalnya: masyaqat-nya dingin saat wudhu dan mandi, masyaqatnya puasa dan hari yang panjang saat berpuasa, masyaqatnya perjalanan bagi jamaah haji dan orang yang berperang dan masyaqatnya sakit saat menerima hukuman had, rajam, dan qishash. Semua masyaqat (kesulitan) itu tidak menggugurkan ibadah yakni tidak ada pengaruhnya.
2.       Masyaqat yang pada umumnya dapat menggugurkan ibadah.
Bagian ini ada 3 macam:
a)      Masyaqat Adhimah Syadidah (kesulitan yang sangat berat)
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan jiwa, raga atau anggota badan. Kesulitan ini mengharuskan adanya takhfif dan rukhshah (keringanan dan kemudahan)secara pasti bagi manusia, karena memelihara keselamatan jiwa, raga dan anggota badan untuk menjalankan kemaslahatan agama itu lebih utama daripada tidak selamat hingga tidak bisa beribadah.
Misal: dalam perjalanan ada peperangan, maka tidak wajib melakukan ibadah haji, karena dengan tidak melakukan ibadah haji itu berarti memelihara jiwa untuk dapat melaksanakan haji lainnya.
b)      Masyaqat khafifah (kesulitan yang ringan)
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti sedikit rasa sakit di jari-jari, sedikit rasa pusing di kepala, dan lain sebagainya. Kesulitan ini tidak ada pengaruhnya dalam pelaksanaan ibadah karena manfaat ibadah lebih kuat daripada mafsadah kesulitan tersebut.
c)       Masyaqat mutawasithah (kesulitan yang sedang)
Yaitu kesulitan yang berada di antara yang berat dan yang ringan. Kesulitan yang lebih dekat dengan yang berat tentu mendapat keringanan dan yang lebih dekat dengan kesulitan ringan tentu tidak mendapatkan keringanan. Seperti flu ringan, sakit gigi yang ringan, dan lain sebagainya.
        Berat ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan atau tidak dilarang memilih rukhshah.
Sependapat dengan hal itu, dikutip dari kitab Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah karya Abdullah Al-Hadlrami bahwasannya Imam Syafi’I juga berkaidah الأمر إذا ضاق اتسع  (Sesuatu ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan))[11]. Al-Imam As-Syafi’i telah memberi jawaban tiga masalah dengan kaidah ini:
a)      Seorang wanita di dalam bepergian tidak ada wali, padahal dia ngebet nikah, maka ia boleh menunjuk seorang laki-laki untuk menjadi wali nikah (wali muhakkamah).
b)      Bolehkan mengambil air wudhu dari bejana yang terbuat dari tanah liat dicampur kotoran hewan ? Boleh.
c)       Hewan lalat yang hinggap dia atas baju, padahal hewan itu baru dari WC, tidak apa-apa karena najisnya ma’fu.
Jumhurul Ulama juga berkaidah,  الأشياء إذاضاقت اتسع  (Ketika keadaan menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas). Allah juga berfirman dalam al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 185. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”[12].
Adapun keringanan hukum syara’ (Takhfifat al-Syar’i), meliputi tujuh macam yaitu :
  1. Takhfif isqaat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkkan kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya udzur (halangan).
  2. Takhfif Tanqish, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya menqashar shalat.
  3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan mandi (jibanat) dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
  4. Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jamak taqdim, mendahulukan zakat sebelum haul (satu tahun), mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
  5. Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jamak takhir, mengakhirkan puasa ramadhan bagi yang sakit dan orang yang dalam perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
  6. Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan. Seperti diperbolehkannya menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
  7. Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam keadaan khauf (takut).
Ada juga kaidah fiqh lainnya yang menyangkut tentang rukhshah, yakni  الرخص لاتناط بالمعاصي (Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat)[13] contoh ketika orang puasa dalam keadaan bepergian mempunyai tujuan maksiat, maka dia tidak mendapatkan keringanan.  Dan juga الرخصة لاتناط بالشك (Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan)[14], contoh ketika ada orang yang bimbang apakah dirinya hadas pada waktu maghrib atau isyak, maka yang harus diyakini adalah waktu maghrib .
Dari banyak pengertian di atas, baik dari ushul fiqh maupun kaidah fiqh bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian rukhshah ialah  perubahan hukum dari yang berat untuk dijalankan kemudian mudah untuk dilaksanakan karena suatu alasan yang diperkenankan dalam syariah Islam (meskipun bertentangan).
Sementara kaidah-kaidah fikih dan kaidah-kaidah ushul fikih adalah warisan-warisan Islam yang seharusnya dituntut menyesuaikan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Oleh karenanya kiranya perlu dilakukan rekonstruksi agar senantiasa kapabel untuk menjawab problem masa depan. Ini penting dilakukan karena teks terbatas sementara permasalahan selalu muncul, sehingga teks-teks tersebut menjadi tidak cukup memadai untuk menjawab problem-problem kontemporer.[15]


Implementasi rukhshah dalam ibadah kaum difabel

Sudah kita ketahui sebelumnya, berawal dari pengertian rukhshah di atas, terdapat tata cara berbeda dalam pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh kaum difabilitas. Mengambil salah satu pembagian rukhsah ulama Hanafiyyah, yakni adanya udzur atau keberatan (red; ketidakmampuan) menjalankannya dalam arti tidak sesuai dengan kaifiyah (tata cara) yang sudah ditentukkan dalam pelaksanaan ibadah. Padahal, filosofi dalam bersuci (wudhu, tayammum, dll) itu terdapat manfaat dan positifnya bagi tubuh. Sama halnya juga gerakan maupun ucapan yang ada dalam salat selama ini. Sebelum kita membahas bagaimana caranya orang difabel dalam mengerjakan ibadah, alangkah baiknya jika kita ketahui tentang filsafat ibadah atau sembahyang selama ini.
Allah taala berfirman dalam surah al-an’am ayat 162. “katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatkuku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan seluruh alam”.[16]
Sembahyang mengandung arti yang mendalam dalam Islam. Agama Islam mengartikan sembahyang itu sebagai tiang agama. Sembahyang dapat dikatakan ujung pangkal dan aplabet agama yang penting artinya untuk kesempurnaan beragama. Intisari dari agama terletak pada sembahyang  sebab di dalamnya tersimpul seluruh rukun agama. Dalam sembahyang terdapat pengucapan syahadatain, terdapat kesucian terhadap Tuhan, Agama dan manusia.[17]
Ibadah merupakan sarana pribadi manusia untuk mengabdi dan mengingatkan kepada Allah yang maha Esa. Dengan menggerakkan jiwa yang dibungkus oleh tubuh untuk melakukan suatu tindakan yang diperintah Allah, sebagai tanda bahwa kita patuh dan mengakui hanya Allah-lah yang maha agung. Kita manusia tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya kecuali hanya sebatas hamba-Nya.
Sembahyang mempunyai syarat-syarat yang ditentukan oleh Agama menurut sifatnya. Syarat-syarat ini ialah yang menyempurnakan sembahyang itu dalam cara beragama. Syarat itu mengikat syarat sahnya sembahyang itu sebagai ibadah. Maka syarat dalam sembahyang dapat diartikan pribadi dari pada sembahyang itu. Syarat itu mempunyai sifat menentukan sah atau tidaknya sembahyang itu dengan arti sembahyang itu mengandung syarat pengikat. Syarat yang merupakan tata tertib itu adalah ibarat cahaya bagi lampu. Bertambah sempurna syarat itu bertambah cahaya lampu ibadah itu. Maka sembahyang dalam ibadah tidak dapat dan tidak mungkin terlepas dari pada syarat-syaratnya. Kita mengetahui syarat-syarat sembahyang dalam agama Islam dan dalam kupasan ini kita tidak sekali-sekali menyinggung soal ini, yang telah disahkan oleh pendapat umum Ulama Islam menurut pedoman yang diberikan oleh Rosulullah saw.[18]
Hikmah dan filsafat sembahyang itu ialah menyerahkan diri dengan pikiran dan isi hati keseluruhannya kepada Tuhan yang maha esa dengan pengertian, bahwa itu adalah satu-satunya jalan dalam menunjukkan keikhlasan bertuhan dan kesucian beragama. Pelaksanaan ibadah sudah ditentukan kapan waktunya, dengan demikian dalam mengingat tuhan kita sudah diatur untuk mengingat Allah dalam melaksanakan kewajiban ibadah sehari-hari secara kontinyu.
Dengan demikian, bagaimana ibadahnya kaum difabel ? dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori صل قائما فإن لم تستطع فقائدا فإن لم تستطع فعلى جنب (رواه البخاري)  (sembahyanglah berdiri, kalau engkau tidak sanggup maka duduklah dan kalau tidak sanggup (juga) maka sembahyanglah dengan secara berbaring (pada sebelah pihak badanmu).
Pemahaman keterangan hadits di atas secara tekstual bahwasannya orang yang sedang berada dalam keadaan sakit diberi keistimewaan  tata cara ibadah. Dalam kategori orang sakit, dia bisa dikatakan dahulunya normal (jasmani dan rohani).  Karena pen-taklif-an hukum kewajiban melaksanakan ibadah diperuntukkan orang yang normal dan sehat.
Contoh salah satu rukun dalam shalat ialah berdiri tegak . Bagaimana dengan orang yang tidak mampu ? Dalam artian orang tersebut lumpuh atau cacat. Maka ada pengkhususan yakni boleh dengan duduk. Hal ini merupakan rukhshah (kemurahan, keringanan) yang bersifat takhfif taghyiry (peringanan dengan merubah) dalam melaksanakan ibadah shalat jika tak mampu berdiri. Padahal dalam bacaan kaifiyyah fiqh hanya disebutkan in qadiran (jika berkuasa, mampu) yang disebutkan di kitab Sayah Taqrib ialah[19](القيام مع القدرة: عليه فإن عجز عن القيام قعد كيف شاء وقعوده مفترشا أفضل) .
Contoh lagi, dalam shalat yakni adanya rukun membaca[20] surah al-fatihah. Bagaimana dengan orang bisu (tuna daksa) yang tidak bisa membaca palagi fasih melafalkannya ? Maka diperbolehkannya membaca sebisa mungkin maupun hanya dengan meniatkan dalam hati membaca surah al-fatihah.
Dalam gerakan-gerakan shalat itu sendiri jika seseorang tidak dapat melaksanakannya sesuai aturan yang sudah ditetapkan ulama fiqh, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yang beda ataupun kurang lebih hampir menyamai gerakannya. Contoh ketika seseorang yang telapak kakinya sedang sakit dan harus diperban, hal yang dapat dilakukannya adalah shalat dengan duduk atau tetap sujud menjulurkan kakinya (tanpa menetapkan jari kakinya).
Hal demikian pula bisa terjadi dalam melaksanakan thaharah (sesuci) seperti wudhu dan tayammum. Dalam rukun wudhu itu diharuskan membasuh wajah, kedua tangan sampai siku dan kaki. Bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai bagian tubuh  yang harus dibasuh ataupun cacat ?  Maka sekali lagi agama memberikan kemurahan. Jika tidak mempunyai tangan sampai siku, maka cukup membasuhnya pada potongan tangan itu sampai siku atau dengan mengira-ngira (فإن لم يكن له مرفقان أعتبر قدرهما)[21]. 
Hal semacam itu juga bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji, jika seseorang dengan keterbatasan berjalan maka boleh dibantu dengan menggunakan kursi roda. Apalagi Negara Arab Saudi sekarang sudah memfasilitasi dan memudahkan orang yang akan melakukan thawaf dengan menggunakan kursi roda di jalur yang khusus yakni tingkat paling atas. Begitupun juga, kalau orang yang sudah mampu dalam hal finansial namun badannya tidak mendukung untuk melaksanakan ibdah haji, maka boleh di-badal-kan (diwakilkan, digantikan) orang lain.
Islam  sudah memberikan berbagai cara dalam menyikapi pelaksanaan ibadah sebelumnya, karena yang tercantum dalam tekstualitas nash itu umumnya standar bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya. Namun kalau dilihat dari sudut pandang lain, sesungguhnya hukum Islam itu lentur, terbuka, fleksibel, dinamis dan ramah bagi semua umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Allah swt. Maha Rahman dan Rahim bagi seluruh hambanya tanpa terkecuali. Allah tidak semena-mena menyuruh hambanya untuk menjalankan ibadah tersebut, seperti menguji hamba-Nya mau tunduk atau tidak, namun tidak demikian.
Jamal al-Banna dalam karangannya yang berjudul Nahwa Fiqh Jadid 3, mencantumkan pendapat Syekh Ahmad yang terkenal dengan Waliyullah bin Abdurrahim ad-Dahlawi adalah bagian dari ulama di India yang mengabdi kepada masyarakat, terutama dalam Hadis. Menurutnya semua itu tidak benar (menguji hambanya), arena masing-masing pendekatan (ibadah) mempunyai makna dan tujuan. Shalat diwajibkan untk mengingat seseorang kepada Allah, zakat untuk menghilangkan kebiasaan pelit dan untuk mencukupi mereka yang kekurangan, haji untuk mengagungkan tanda kebesaran Allah, Hukum qishas untuk mencegah pembunuhan.[22]


Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil bahwasannya agama Islam itu lentur, harmonis dan ramah  lingkungan. Hal ini merupakan wujud dari Rahmatan Lil Alamin dengan menghargai satu sama lain makhluk-Nya, apalagi sesama manusia meskipun dalam keadaan berbeda bentuk fisik. Dalam merumuskan kaifiyah ibadah pun para ulama khususnya ulama fiqh ikut mengamalkannya, dengan melihat sisi berbeda nantinya bagi orang yang akan mengerjakan hukum dari hasil ijtihadnya.
Sesungguhnya makna dan tujuan ibadah ialah untuk mendekatkan hamba kepada sang pencipta, di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Rukhshah merupakan produk istimewa sebagai jalan tengah atau jalan keluar jika dalam kesempitan. Tanpanya kita tidak dapat menjalankan hukum Islam, karena hanya berpacu dalam tekstualitas dan mengenyampingkan konstektualitas.
Nilai yang terkandung dalam ibadah itu sendiri tak lain adalah sebagai rasa syukur atas karunia dan anugerah yang diberikan-Nya. Bagaimanapun, manusia merupakan sebaik-baiknya makhluk yang diciptakan. Menghargai sesama dan saling tolong-menolong merupakan ajaran agama yang sudah diajarkan sejak dahulu. Tanpa menghardik sesama yang diciptakan dalam keadaan berbeda, mempunyai kebutuhan khusus dan melakukannya dengan cara yang berbeda. Semangat menjalankan syariat harus selalu ditanamkan dalam diri kita, guna memperoleh ridho dan hidayah-Nya.
















Daftar Pustaka


al-Banna, Jamal, Nahwa Fiqh Jadid 3,  diterjemah dengan judul Manifesto Fiqh Baru Memahami Paradigma Fiqh Moderat 3, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008.
Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif : Kemungkinannya di STAIN Purwokerto”, Insania Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, vol. 13, no.3, 2008.
az-Zuhaily, Wahbah, al-Wajir fi al-ushul al-Fiqh, Dimsyq :  Daar Fikr, 1999.
Bin Qasim, Muhammad, Fathu al-Qarib al-Mujib, Semarang :Thoha Putra, TT.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010.
Dimyathy, Harisun Alaikum, Syarh al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Pondok Pesantren Termas: Pacitan, TT.
Fahruddin, Fuad mohd., Filsafat dan Hikmat Syariat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, cet. II, 1966.
Ihsan, A. Ghozali, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Semarang : Basscom Multimedia Grafika, 2015.
Mahsun, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik Modern, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang :  Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25 No. 1, April 2015).
Qawaid ushul fiqh, kaidah ke 28. Pdf.
Rasjid, Sulaiman, al-Fiqh al-Islam, (Bandung  : PT. Sinar Baru Algesindo Offset, 2001), cet. 30.
Salinan Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Lihat di almanhaj.or.id. diakses 27 September 2016.
Zaibuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary,  Asy-Syekh, Fathul Mu’in alih bahasa  Indonesia oleh Ust. Abdul Hiyadh dengan judul Terjemah Fathul Mu’in, Surabaya : Hidayah, 1993.




[1] Mahasiswa Fak. Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang asal Kudus.
[2] Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan Inklusif : Kemungkinannya di STAIN Purwokerto”, Insania Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, vol. 13, no.3, 2008, hal. 3. 
[3]Asy-Syekh Zaibuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary,  Fathul Mu’in alih bahasa  Indonesia oleh Ust. Abdul Hiyadh dengan judul Terjemah Fathul Mu’in, (Surabaya : Hidayah, 1993), hal. 13
[4] Qawaid ushul fiqh, kaidah ke 28. Pdf.
[5]Sulaiman Rasjid, al-Fiqh al-Islam, (Bandung  : PT. Sinar Baru Algesindo Offset, 2001), cet. 30, hal. 24-25. 
[6]Sulaiman Rasjid……., hal. 40.
[7] Salinan Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Lihat di almanhaj.or.id. diakses 27 September 2016.
[8]Wahbah az-Zuhaily, al-Wajir fi al-ushul al-Fiqh, (Dimsyq :  Daar Fikr, 1999,) hal. 141- 143.
[9]Harisun Alaikum Dimyathy, Syarh al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Pondok Pesantren Termas: Pacitan, TT), hal. 6
[10] A. Ghozali Ihsan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Semarang : Basscom Multimedia Grafika, 2015) hal. 70-72.
[11]A. Ghozali Ihsan........., hal. 74
[12]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2010),  hal.28
[13]Harisun Alaikum Dimyathy…………………….., hal. 89  
[14] Harisun Alaikum Dimyathy......................, hal. 91
[15] Mahsun, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik Modern, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang :  Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25 No. 1, April 2015), hal. 12-13.

[16]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2010), hal. 143
[17]Fuad mohd. Fahruddin, Filsafat dan Hikmat Syariat islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1966), cet. II., hal. 96.
[18]Fuad mohd. Fahruddin………………, hal. 97-98.
[19]Muhammad bin Qasim, Fathu al-Qarib al-Mujib, (Semarang :Thoha Putra, TT), hal. 13
[20]pengertian membaca dalam definisi berbagai literatur-literatur fiqh ialah mengeluarkan huruf hijaiyyah dari mulut dengan adanya suara yang dihasilkan, minimal didengar oleh telinganya sendiri.
[21]Muhammad bin Qasim………….., hal. 5
[22] amal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid 3,  diterjemah dengan judul Manifesto Fiqh Baru Memahami Paradigma Fiqh Moderat 3, ( Kairo : Dar al-Fikr al-Islamy, 1997)., ( Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008), hal. 93.

Universalitas Nilai Islam Pada Generasi Millenial Era Digital

       sumber gambar : republika.co.id.          Kajian mengenai sejarah peradaban Islam telah melalui dan mengalami beberapa periode, pada...