Refilosofi Fiqh dalam Rukhshah Ibadah
Kaum Difabilitas
Alaik Ridhallah[1]
Abstrak
Dalam Islam anak merupakan amanat, generasi yang akan memperjuangkan keberlangsungan ajaran agama. Demi suksesnya kepemimpinan yang berkelanjutan. Namun, yang dimaksud adalah anak dalam keadaan sehat (red; normal) baik jasmani dan rukhani. Biasanya orang yang mengalami tumbuh tidak normal, orang menyebutnya dengan difabel, atau difabilitas (orang mempunyai kebutuhan khusus). Di sisi lain, orang yang tak berkembang sesuai orang normal lainnya malah dipandang sebelah mata dianggap aib bagi keluarga, bahkan keadaannya pun ditutup-tutupi. Ironisnya, dalam melaksanakan ibadah yang semestinya dijalankan oleh orang normal, saat dewasapun kalau tak melakukannya dianggap biasa, dengan alasan tidak dapat di-taklif agama. Namun semestinya tidak demikian, karena agama memberikan kemurahan (rukhshah) mengenai tata cara ibadah bagi orang yang tidak dapat menjalankannya sesuai dengan fiqh. Tulisan ini merangkan kaum difabel dalam agama, serta tata cara ibadahnya, dan hal pengkhususan baginya, serta apa makna khusus (red; filosofi) ibadah yang berbeda dengan kaum normal.
Keywords ; difabilitas,
agama, ibadah
Penggunaan kata Difabilitas
Ada beberapa istilah yang selama ini digunakan
untuk menyebut “keberbedaan” baik secara fisik maupun mental yang dimiliki oleh
seseorang. Cacat, tuna netra, tuna daksa, dan sebagainya, yang semuanya
terangkum dalam kata disabilitas. Disabilitas adalah istilah yang diderivasi
dari kata disability, sebuah kata benda dalam bahasa Inggris yang
merupakan bentukan dari kata sifat disable (tidak mampu) yang merupakan
antonim dari able (mampu). Kata disability secara literal
bermakna ketidakmampuan. Dengan menggunakan istilah tersebut, maka ada suatu
pandangan yang menyertainya, yaitu bahwa orang-orang yang memiliki kelainan
fisik adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
pekerjaan atau aktivitas apapun.[2]
Adapun kata difabilitas-lah yang cocok
untuk menyebutnya, karena merupakan
singkatan dari different ability (kemampuan yang
berbeda). Sedangkan orang-orangnya disebut dengan kaum diffable (difabel) differently able (memiliki kemampuan secara berbeda). Menggunakan pilihan kata ini, maka bayangan yang lebih positif dan adil terhadap kaum diffabel bisa
diberikan.
Kewajiban melaksanakan Ibadah Fi’liyyah
Sudah kita ketahui bahwasannya rukun
Islam ada lima yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Shalat merupakan
amalan penting dalam Islam, karena shalat adalah pembeda antara mukmin dan
kafir. Shalat juga merupakan amal pertama kali yang akan dihisab pada hari
kiamat. Jika seseorang shalatnya baik, maka sungguh ia akan sukses dan selamat.
Dan jika shalatnya kurang, maka ia akan celaka dan merugi. Keterangan tadi
menandakan bahwasanya shalat adalah ibadah yang urgen dan harus dilaksanakan
kaum muslim. Dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, asalkan akalnya masih berfungsi ibadah itu harus tetap dijalankan. Misalnya, orang
yang sedang dalam keadaan sakit tetap diwajibkan shalat meskipun cara
pelaksanaannya berbeda, dengan duduk, tidur menyamping maupun hanya dengan
isyarat.
Pengertian shalat menurut syara’ ialah beberapa ucapan dan
perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam.
Ucapan dan perbuatan tersebut dinamakan “shalat”, karena shalat menurut bahasa
adalah doa.[3] Di
dalam shalat terdapat syarat dan rukun yang harus terpenuhi. Adapun salah satu
syarat hang harus terpenuhi ialah suci dari hadas besar dan kecil. Sudah kita
ketahui bahwasannya untuk menghilangkan hadas besar dengan cara mandi junub
(mengalirkan air rata ke seluruh tubuh), kalau hadas kecil dengan cara
berwudhu. Hal itu terdapat dalam qaidah
ushul Fiqh مالا يتم الواجب الا به فهو واجب (sesuatu yang karena diwajibkan
menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka hukumnya wajib). Dalam hal ini sebelum melaksanakan shalat, hukum
mengambil air wudhu adalah wajib.[4]
Tata cara berwudhu sudah
diatur dalam literatur-literatur fiqh
mazhab, rukun wudhu ada
enam. Niat dibarengi membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai ke siku,
menyapu sebagian kepala, membasuh kedua telapak kaki sampai kedua mata kaki,
menertibkan rukun-rukun di atas.[5] Dari rukun itu kita dapat
membedakan adanya kata “membasuh” dan “mengusap”. Pengertian membasuh ialah dengan cara mengalirkan air, adapun mengusap ialah hanya menyapu dengan air.
Seperti membasuh muka berarti mengalirkan air di muka. Menyapu sebagian kepala
berarti mengusap sebagian kepala dengan air. Demikian pula dalam tayammum, yakni niat, mengusap muka
dengan tanah, mengusap kedua tangan sampai ke siku dengan tanah, menertibkan
rukun-rukun.[6]
Dalam contoh ibadah fi’liyyah di atas
tadi, orang difabilitas diharuskan juga untuk mengerjakannya karena sebuah
kewajiban yang masuk dalam rukun Islam dan harus dijalankan. Namun dengan cara
yang berbeda atau kekhususan cara yang sudah dimasukkan dalam ruang lingkup
rukhshah (keringanan).
Pengertian Rukhshah
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ (Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada, karena adanya udzur).
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah
yaitu :
1. Rukhshah (keringanan)
hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun
konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan
dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua
hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya
bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya udzur baik
berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian
dari kasih sayang Allah Swt. pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah
agama yang mudah dan tidak memberatkan.[7]
Ulama Hanafiyyah membagi rukhshah menjadi lima bagian :[8]
1. Diperbolehkan
melakukan hal yang haram atau saat dibutuhkan (dalam keadaan mendesak) :
seperti mengucapkan bahwa saya kafir ketika dalam
keadaan terdesak akan dibunuh atau akan
dipotong anggota tubuhnya, dengan ketentuan hatinya tetap iman. Qur’an surat
al-nahl ayat 106. “Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa)”. Bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging babi padahal asalnya haram,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 173
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2. Rukhshah dengan
menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah
karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan
perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh
meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain”.
3. Diperbolehkannya
melakukan akad-akad dan tasharruf untuk memenuhi kebutuhan manusia
meskipun bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan ulama, seperti
akad salam, karena sesungguhnya akad salam itu jual beli yang tidak wujud, dan jual beli semacam itu akan
batal (red; tidak sah). Tetapi
syariat membolehkannya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Seperti
akad istishna’ (memproduksi).
4. Rukhshah dalam bentuk
merubah kewajiban seperti merubah cara melaksanakannya, karena berat
seperti syariat-syariat umat terdahulu
untuk meringankan umat Islam sekarang. Contoh, disyaratkannya bunuh diri untuk
bertaubat dari maksiat, memotong pakaian yang terkena najis guna untuk
mensucikannya, dan diwajibkannya seperempat dari harta untuk melaksanakan
zakat, batalnya pelaksanaan shalat ketika tidak dilakukan di tempat yang telah
dikhususkan atau
ditentukan.
Intisari ; sesungguhnya rukhshah menurut ulama hanafiyyah ada kalanya
mubah, atau wajib. Dan membaginya lagi menjadi rukhshah tarfiyah dan rukhshah
al-isqath.
Rukhshah Tarfiyah ialah : adanya ketetapan hukum syariat yang didasari
dalil tetap, akan tetapi rukhshah ini untuk meringankan, seperti yang telah
diterangkan dalam bagian pertama yakni ikrar kafir ketika dalam keadaan
mendesak (meskipun aslinya mengaku kafir itu murtad), atau membatalkan puasa
ramadhan ketika dalam keadaan membayahakan diri (padahal asal hukumnya
menjalankan puasa itu wajib).
Rukhshah al-isqath : rukhshah yang bersamaannya tidak ada hukum tetap dalam
syariah, seperti dibolehkannya memakan bangkai maupun meminum khomr
(arak) ketika dalam keadaan yang mendesak.
Adapun dalam kaidah fiqh diterangkan المشقة تجلب التيسر (Kesulitan akan menarik pada kemudahan), Allah berfirman dalam al-Qur’an (وما جعل عليكم
في الدين من حرج)[9]. Di sini batasan masyaqat (kesulitan)
Al-Imam Abdul Rahman al-Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul al-asybah wa
al-Nadhair menyatakan bahwasannya kesulitan itu ada dua macam :[10]
1. Masyaqat yang pada umumnya tidak
menggugurkan ibadah.
Misalnya: masyaqat-nya dingin saat wudhu dan mandi, masyaqatnya
puasa dan hari yang panjang saat berpuasa, masyaqatnya perjalanan bagi jamaah
haji dan orang yang berperang dan masyaqatnya sakit saat menerima hukuman had,
rajam, dan qishash. Semua masyaqat (kesulitan) itu tidak menggugurkan
ibadah yakni tidak ada pengaruhnya.
2. Masyaqat yang pada umumnya dapat
menggugurkan ibadah.
Bagian ini ada 3 macam:
a)
Masyaqat Adhimah Syadidah (kesulitan yang sangat berat)
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan dapat
mengancam keselamatan jiwa, raga atau anggota badan. Kesulitan ini mengharuskan
adanya takhfif dan rukhshah (keringanan dan kemudahan)secara
pasti bagi manusia, karena memelihara keselamatan jiwa, raga dan anggota badan
untuk menjalankan kemaslahatan agama itu lebih utama daripada tidak selamat
hingga tidak bisa beribadah.
Misal: dalam perjalanan ada peperangan, maka
tidak wajib melakukan ibadah haji, karena dengan tidak melakukan ibadah haji
itu berarti memelihara jiwa untuk dapat melaksanakan haji lainnya.
b)
Masyaqat khafifah (kesulitan yang ringan)
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan,
seperti sedikit rasa sakit di jari-jari, sedikit rasa pusing di kepala, dan
lain sebagainya. Kesulitan ini tidak ada pengaruhnya dalam pelaksanaan ibadah
karena manfaat ibadah lebih kuat daripada mafsadah kesulitan tersebut.
c)
Masyaqat mutawasithah (kesulitan yang sedang)
Yaitu kesulitan yang berada di antara yang
berat dan yang ringan. Kesulitan yang lebih dekat dengan yang berat tentu
mendapat keringanan dan yang lebih dekat dengan kesulitan ringan tentu tidak
mendapatkan keringanan. Seperti flu ringan, sakit gigi yang ringan, dan lain
sebagainya.
Berat
ringannya kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak
diwajibkan atau tidak dilarang memilih rukhshah.
Sependapat dengan hal itu, dikutip dari kitab Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah
karya Abdullah Al-Hadlrami bahwasannya Imam Syafi’I juga berkaidah الأمر إذا ضاق اتسع (Sesuatu ketika sulit, maka hukumnya menjadi
luas (ringan))[11]. Al-Imam As-Syafi’i telah
memberi jawaban tiga masalah dengan kaidah ini:
a) Seorang wanita di dalam bepergian tidak ada wali, padahal
dia ngebet nikah, maka ia boleh menunjuk seorang laki-laki untuk menjadi
wali nikah (wali muhakkamah).
b) Bolehkan mengambil air wudhu dari bejana yang terbuat
dari tanah liat dicampur kotoran hewan ? Boleh.
c) Hewan lalat yang hinggap dia atas baju, padahal hewan itu
baru dari WC, tidak apa-apa karena najisnya ma’fu.
Jumhurul Ulama juga berkaidah, الأشياء
إذاضاقت اتسع (Ketika keadaan menjadi
sempit, maka hukumnya menjadi luas). Allah juga berfirman dalam al-Qur’an,
surah al-Baqarah ayat 185. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”[12].
Adapun keringanan hukum
syara’ (Takhfifat al-Syar’i), meliputi tujuh macam yaitu :
- Takhfif isqaat, yaitu
keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkkan kewajiban menunaikan
ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya udzur (halangan).
- Takhfif Tanqish, yaitu
keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya menqashar shalat.
- Takhfif ibdal, yaitu
keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan mandi (jibanat)
dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi
isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
- Takhfif Taqdim, yaitu
keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat
jamak taqdim, mendahulukan zakat sebelum haul (satu tahun), mendahulukan
zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.
- Takhfif Takhir, yaitu keringanan
dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jamak takhir,
mengakhirkan puasa ramadhan bagi yang sakit dan orang yang dalam
perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
- Takhfif Tarkhis, yaitu
keringanan dengan kemurahan. Seperti diperbolehkannya menggunakan khamr
(arak) untuk berobat.
- Takhfif Taghyir, yaitu
keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam keadaan
khauf (takut).
Ada juga kaidah fiqh lainnya yang menyangkut tentang rukhshah, yakni الرخص لاتناط بالمعاصي (Keringanan
hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat)[13] contoh ketika orang puasa dalam keadaan bepergian mempunyai tujuan
maksiat, maka dia tidak mendapatkan keringanan.
Dan juga الرخصة
لاتناط بالشك (Keringanan hukum tidak bisa
dikaitkan dengan keraguan)[14], contoh ketika ada orang yang bimbang apakah dirinya hadas pada waktu
maghrib atau isyak, maka yang harus diyakini adalah waktu maghrib .
Dari banyak pengertian di atas, baik dari ushul fiqh maupun kaidah fiqh
bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian rukhshah ialah perubahan hukum dari yang berat untuk
dijalankan kemudian mudah untuk dilaksanakan karena suatu alasan yang
diperkenankan dalam syariah Islam (meskipun bertentangan).
Sementara
kaidah-kaidah fikih dan kaidah-kaidah ushul
fikih adalah warisan-warisan Islam yang seharusnya dituntut menyesuaikan spirit modernitas dan kebutuhan Muslim
kontemporer. Oleh karenanya kiranya perlu dilakukan rekonstruksi agar
senantiasa kapabel untuk menjawab problem masa depan. Ini penting dilakukan karena teks terbatas sementara permasalahan selalu
muncul, sehingga teks-teks tersebut menjadi tidak cukup memadai untuk menjawab
problem-problem kontemporer.[15]
Implementasi rukhshah dalam ibadah kaum difabel
Sudah kita ketahui sebelumnya, berawal dari pengertian rukhshah di atas, terdapat tata cara berbeda dalam pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh kaum difabilitas. Mengambil salah satu pembagian rukhsah ulama Hanafiyyah, yakni adanya udzur atau keberatan (red; ketidakmampuan) menjalankannya dalam arti tidak sesuai dengan kaifiyah (tata cara) yang sudah ditentukkan dalam pelaksanaan ibadah. Padahal, filosofi dalam bersuci (wudhu, tayammum, dll) itu terdapat manfaat dan positifnya bagi tubuh. Sama halnya juga gerakan maupun ucapan yang ada dalam salat selama ini. Sebelum kita membahas bagaimana caranya orang difabel dalam mengerjakan ibadah, alangkah baiknya jika kita ketahui tentang filsafat ibadah atau sembahyang selama ini.
Allah ta’ala berfirman dalam surah al-an’am ayat 162. “katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatkuku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan seluruh alam”.[16]
Sembahyang
mengandung arti yang mendalam dalam Islam. Agama Islam mengartikan sembahyang
itu sebagai tiang agama. Sembahyang dapat dikatakan ujung pangkal dan aplabet
agama yang penting artinya untuk kesempurnaan beragama. Intisari dari agama
terletak pada sembahyang sebab di
dalamnya tersimpul seluruh rukun agama. Dalam sembahyang terdapat pengucapan syahadatain,
terdapat kesucian terhadap Tuhan, Agama dan manusia.[17]
Ibadah
merupakan sarana pribadi manusia untuk mengabdi dan mengingatkan kepada Allah yang maha Esa. Dengan menggerakkan jiwa yang dibungkus
oleh tubuh untuk melakukan suatu tindakan yang diperintah Allah, sebagai tanda bahwa kita patuh dan mengakui hanya Allah-lah yang
maha agung. Kita manusia tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya kecuali hanya
sebatas hamba-Nya.
Sembahyang
mempunyai syarat-syarat yang ditentukan oleh Agama menurut sifatnya.
Syarat-syarat ini ialah yang menyempurnakan sembahyang itu dalam cara beragama.
Syarat itu mengikat syarat sahnya sembahyang itu sebagai ibadah. Maka
syarat dalam sembahyang dapat diartikan pribadi dari pada sembahyang itu.
Syarat itu mempunyai sifat menentukan sah atau tidaknya sembahyang itu dengan
arti sembahyang itu mengandung syarat pengikat. Syarat yang merupakan tata
tertib itu adalah ibarat cahaya bagi lampu. Bertambah sempurna syarat itu
bertambah cahaya lampu ibadah itu. Maka sembahyang dalam ibadah tidak dapat dan
tidak mungkin terlepas dari pada syarat-syaratnya. Kita mengetahui
syarat-syarat sembahyang dalam agama Islam dan dalam kupasan ini kita tidak
sekali-sekali menyinggung soal ini, yang telah disahkan oleh pendapat umum
Ulama Islam menurut pedoman yang diberikan oleh Rosulullah saw.[18]
Hikmah dan filsafat sembahyang itu ialah menyerahkan diri dengan pikiran dan
isi hati keseluruhannya kepada Tuhan yang maha esa dengan pengertian, bahwa itu
adalah satu-satunya jalan dalam menunjukkan keikhlasan bertuhan dan kesucian
beragama. Pelaksanaan ibadah sudah ditentukan kapan waktunya, dengan demikian
dalam mengingat tuhan kita sudah diatur untuk mengingat Allah dalam
melaksanakan kewajiban ibadah sehari-hari secara kontinyu.
Dengan demikian, bagaimana ibadahnya kaum difabel ? dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan Imam Bukhori صل قائما فإن لم تستطع فقائدا فإن لم
تستطع فعلى جنب (رواه البخاري) (sembahyanglah berdiri, kalau engkau tidak
sanggup maka duduklah dan kalau tidak sanggup (juga) maka sembahyanglah dengan
secara berbaring (pada sebelah pihak badanmu).
Pemahaman
keterangan hadits di atas secara tekstual bahwasannya orang yang sedang berada
dalam keadaan sakit diberi keistimewaan
tata cara ibadah. Dalam kategori orang sakit, dia bisa dikatakan
dahulunya normal (jasmani dan rohani).
Karena pen-taklif-an hukum kewajiban
melaksanakan ibadah diperuntukkan orang yang normal dan sehat.
Contoh
salah satu rukun dalam shalat ialah berdiri tegak . Bagaimana dengan orang yang tidak mampu ? Dalam artian orang
tersebut lumpuh atau cacat. Maka ada pengkhususan yakni boleh dengan duduk. Hal
ini merupakan rukhshah (kemurahan, keringanan) yang bersifat takhfif
taghyiry (peringanan dengan merubah) dalam melaksanakan
ibadah shalat jika tak mampu berdiri. Padahal dalam bacaan kaifiyyah fiqh hanya
disebutkan in qadiran (jika berkuasa, mampu) yang disebutkan di kitab Sayah Taqrib ialah[19](القيام
مع القدرة: عليه فإن عجز عن القيام قعد كيف شاء وقعوده مفترشا أفضل) .
Contoh
lagi, dalam shalat yakni adanya rukun
membaca[20]
surah al-fatihah. Bagaimana dengan orang bisu (tuna daksa) yang tidak
bisa membaca palagi fasih melafalkannya ? Maka diperbolehkannya membaca sebisa mungkin maupun hanya dengan
meniatkan dalam hati membaca surah al-fatihah.
Dalam gerakan-gerakan shalat itu sendiri jika seseorang tidak dapat
melaksanakannya sesuai aturan yang sudah ditetapkan ulama fiqh, maka hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara yang beda ataupun kurang lebih hampir
menyamai gerakannya. Contoh ketika seseorang yang telapak kakinya sedang sakit
dan harus diperban, hal yang dapat dilakukannya adalah shalat dengan duduk atau
tetap sujud menjulurkan kakinya (tanpa menetapkan jari kakinya).
Hal
demikian pula bisa terjadi dalam melaksanakan thaharah (sesuci) seperti
wudhu dan tayammum. Dalam rukun wudhu itu diharuskan membasuh wajah, kedua
tangan sampai siku dan kaki. Bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai bagian
tubuh yang harus dibasuh ataupun cacat ?
Maka sekali lagi agama memberikan
kemurahan. Jika tidak mempunyai tangan sampai siku, maka cukup membasuhnya pada
potongan tangan itu sampai siku atau dengan mengira-ngira (فإن لم
يكن له مرفقان أعتبر قدرهما)[21].
Hal semacam itu juga bisa terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji, jika
seseorang dengan keterbatasan berjalan maka boleh dibantu dengan menggunakan
kursi roda. Apalagi Negara Arab Saudi sekarang sudah memfasilitasi dan
memudahkan orang yang akan melakukan thawaf dengan menggunakan kursi roda di
jalur yang khusus yakni tingkat paling atas. Begitupun juga, kalau orang yang
sudah mampu dalam hal finansial namun badannya tidak mendukung untuk
melaksanakan ibdah haji, maka boleh di-badal-kan (diwakilkan,
digantikan) orang lain.
Islam sudah memberikan berbagai cara
dalam menyikapi pelaksanaan ibadah sebelumnya, karena yang tercantum dalam
tekstualitas nash itu umumnya standar bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakannya. Namun kalau dilihat dari sudut pandang lain, sesungguhnya
hukum Islam itu lentur, terbuka, fleksibel, dinamis dan ramah bagi semua umat
manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Allah swt. Maha Rahman dan Rahim
bagi seluruh hambanya tanpa terkecuali. Allah tidak semena-mena menyuruh
hambanya untuk menjalankan ibadah tersebut, seperti menguji hamba-Nya mau
tunduk atau tidak, namun tidak demikian.
Jamal al-Banna dalam karangannya yang
berjudul Nahwa Fiqh Jadid 3, mencantumkan pendapat Syekh Ahmad yang
terkenal dengan Waliyullah bin Abdurrahim ad-Dahlawi adalah bagian dari ulama
di India yang mengabdi kepada masyarakat, terutama dalam Hadis. Menurutnya
semua itu tidak benar (menguji hambanya), arena masing-masing pendekatan
(ibadah) mempunyai makna dan tujuan. Shalat diwajibkan untk mengingat seseorang
kepada Allah, zakat untuk menghilangkan kebiasaan pelit dan untuk mencukupi
mereka yang kekurangan, haji untuk mengagungkan tanda kebesaran Allah, Hukum
qishas untuk mencegah pembunuhan.[22]
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil bahwasannya agama Islam itu lentur, harmonis dan ramah lingkungan. Hal ini merupakan wujud dari Rahmatan Lil Alamin dengan menghargai satu sama lain makhluk-Nya, apalagi sesama manusia meskipun dalam keadaan berbeda bentuk fisik. Dalam merumuskan kaifiyah ibadah pun para ulama khususnya ulama fiqh ikut mengamalkannya, dengan melihat sisi berbeda nantinya bagi orang yang akan mengerjakan hukum dari hasil ijtihadnya.
Sesungguhnya makna dan
tujuan ibadah ialah untuk mendekatkan hamba kepada sang pencipta, di manapun,
dalam keadaan bagaimanapun. Rukhshah merupakan produk istimewa sebagai
jalan tengah atau jalan keluar jika dalam kesempitan. Tanpanya kita tidak dapat
menjalankan hukum Islam, karena hanya berpacu dalam tekstualitas dan mengenyampingkan
konstektualitas.
Nilai yang terkandung dalam
ibadah itu sendiri tak lain adalah sebagai rasa syukur atas karunia dan
anugerah yang diberikan-Nya. Bagaimanapun, manusia merupakan sebaik-baiknya
makhluk yang diciptakan. Menghargai sesama dan saling tolong-menolong merupakan
ajaran agama yang sudah diajarkan sejak dahulu. Tanpa menghardik sesama yang
diciptakan dalam keadaan berbeda, mempunyai kebutuhan khusus dan melakukannya
dengan cara yang berbeda. Semangat menjalankan syariat harus selalu ditanamkan
dalam diri kita, guna memperoleh ridho dan hidayah-Nya.
Daftar Pustaka
al-Banna, Jamal, Nahwa Fiqh Jadid 3, diterjemah dengan judul Manifesto Fiqh Baru Memahami Paradigma Fiqh Moderat 3, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008.
Asyhabuddin, “Difabilitas dan Pendidikan
Inklusif : Kemungkinannya di STAIN Purwokerto”, Insania Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan, vol. 13, no.3, 2008.
az-Zuhaily, Wahbah, al-Wajir fi al-ushul al-Fiqh, Dimsyq : Daar Fikr, 1999.
Bin Qasim, Muhammad, Fathu al-Qarib al-Mujib, Semarang :Thoha Putra,
TT.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2010.
Dimyathy, Harisun Alaikum, Syarh al-Faraid
al-Bahiyyah fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Pondok Pesantren Termas: Pacitan,
TT.
Fahruddin, Fuad mohd., Filsafat dan Hikmat Syariat Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, cet. II, 1966.
Ihsan, A. Ghozali, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Semarang : Basscom
Multimedia Grafika, 2015.
Mahsun, Rekonstruksi Pemikiran Hukum Islam
Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik Modern, (Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang :
Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25 No. 1, April 2015).
Qawaid ushul fiqh, kaidah ke 28. Pdf.
Rasjid, Sulaiman, al-Fiqh al-Islam, (Bandung : PT. Sinar Baru Algesindo Offset, 2001),
cet. 30.
Salinan Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Lihat di
almanhaj.or.id. diakses 27 September 2016.
Zaibuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Asy-Syekh, Fathul Mu’in alih
bahasa Indonesia oleh Ust. Abdul Hiyadh
dengan judul Terjemah Fathul Mu’in, Surabaya : Hidayah, 1993.
[2] Asyhabuddin, “Difabilitas
dan Pendidikan Inklusif :
Kemungkinannya di STAIN Purwokerto”, Insania Jurnal
Pemikiran Alternatif Pendidikan,
vol. 13, no.3, 2008, hal. 3.
[3]Asy-Syekh Zaibuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in alih bahasa Indonesia oleh Ust. Abdul Hiyadh dengan judul Terjemah
Fathul Mu’in, (Surabaya : Hidayah, 1993), hal. 13
[5]Sulaiman Rasjid, al-Fiqh al-Islam, (Bandung : PT. Sinar Baru
Algesindo Offset, 2001), cet. 30, hal. 24-25.
[7] Salinan Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004 M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Lihat di almanhaj.or.id.
diakses 27 September 2016.
[8]Wahbah az-Zuhaily, al-Wajir fi al-ushul al-Fiqh, (Dimsyq : Daar Fikr, 1999,) hal. 141- 143.
[9]Harisun Alaikum Dimyathy, Syarh al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid
al-Fiqhiyyah, (Pondok Pesantren Termas: Pacitan, TT), hal. 6
[10] A. Ghozali Ihsan, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, (Semarang : Basscom Multimedia Grafika, 2015) hal. 70-72.
[11]A. Ghozali Ihsan........., hal. 74
[12]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2010), hal.28
[15] Mahsun, Rekonstruksi
Pemikiran Hukum Islam Melalui Integrasi Metode Klasik Dengan Metode Saintifik
Modern, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang : Jurnal Al-Ahkam, Vol. 25 No. 1, April 2015), hal.
12-13.
[16]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2010), hal. 143
[17]Fuad mohd. Fahruddin, Filsafat dan Hikmat Syariat islam, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1966), cet. II., hal. 96.
[18]Fuad mohd. Fahruddin………………, hal. 97-98.
[20]pengertian membaca dalam definisi berbagai literatur-literatur fiqh
ialah mengeluarkan huruf hijaiyyah dari mulut dengan adanya suara yang
dihasilkan, minimal didengar oleh telinganya sendiri.
[22] amal al-Banna, Nahwa Fiqh
Jadid 3, diterjemah dengan judul
Manifesto Fiqh Baru Memahami Paradigma Fiqh Moderat 3, ( Kairo : Dar al-Fikr
al-Islamy, 1997)., ( Jakarta : Penerbit Erlangga, 2008), hal. 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar di bawah ini :