Selasa, 12 November 2019

GROMA Dalam ALAT UKUR


FORMULASI  GROMA DALAM ALAT  UKUR

Makalah
Disusun dan Dipresentasikan Dalam
Mata Kuliah : Hisab Rukyah Klasik
Dosen Pengampu: Dr. KH. Ahmad Izzuddin, M.Ag.
Description: C:\Users\USER\Pictures\Logo 3D UIN Walisongo - Copy.png
                                                 Oleh:                                                 
Alaik Ridhallah
NIM: 1802048006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FALAK
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
GROMA
ridhallahalaix@yahoo.co.id
Abstrak
Sejarah perkembangan survei dalam pengukuran tidak terlepas dari ilmu-ilmu astronomi, astrologi dan matematika. Awalnya, matematika dikembangkan untuk keperluan praktis dalam kehidupan masyarakat masa itu. Orang-orang Mesir, Yunani dan Romawi menggunakan prinsip-prinsip pengukuran (surveying) dan matematika untuk pematokan batas-batas kepemilikan tanah, penempatan (stake out) bangunan-bangunan publik, pengukuran dan penghitungan luas tanah. Hubungan yang erat antara matematika dan ukur tanah nampak dari istilah-istilah matematika; geometri; yang menurut bahasa latin berarti pengukuran bumi. Istilah lain yang terkait adalah geometronics yang digunakan pada pengukuran dan pemetaan.
Alat-alat yang digunakan pada zaman dahulu pun sederhana, akan tetapi tidak melepaskan dari ilmu hitung matematika pada waktu itu, meskipun perhitungannya secara sederhana. Groma adalah salah satu alat yang digunakan pada waktu itu, salah satu fungsinya adalah untuk menentukan jarak lurus antar titik dan sudut kanan-kiri sebesar 90 derajat, sistem kinerjanya alat ini hanya horizontol dan dapat memutar lintasan lingkaran, hal ini memudahkan para pekerja kontruksi pada waktu itu untuk membidik atau menentukan titik di mana bila ia ingin menarik garis lurus ke depan ke belakang dan kanan-kiri.     
Kata Kuci : groma, alat bantu pemetaan, arah.
Pendahuluan
            Pekerjaan surveying berasal dari zaman Mesir kuno sejak 3000 tahun yang lalu. Pekerjaan ini menentukan posisi suatu objek di atas, pada maupun dibawah permukaan bumi. Surveying merupakan bagian yang penting dari pemetaan batas wilayah, pengukuran kemiringan, jarak, fitur, pembangunan lahan dan juga dimensi akurat dari tanah.            Di Yunani dan Roma, surveyor merupakan orang-orang yang bertanggung jawab dengan sudut dan garis yang membentuk bangunan dan stadion besar yang masih ada hingga sekarang. Mereka menggunakan sebuah alat surveying sederhana yang disebut dengan Groma.
            Groma terdiri dari beberapa peralatan yang dipasang secara vertikal dengan suatu bentuk silang dipasang dengan posisi horizontal. Setiap ujung persilangan tersebut dipasangi unting-unting.[1] Dahulu bandulannya terbuat dari batu yang ditalikan dibawahnya, sekarang lebih bagus dengan bandulan yang berbentuk segitiga lancip.
Sejarah
Groma, instrumen ini, yang digunakan untuk keberpihakan orthogonal, tentu sangat tua. Kemungkinan ditemukan di Mesopotamia, kemudian dibawa oleh para surveyor ke Barat Yunani sekitar abad ke-4 SM; tetapi Etruria yang memperkenalkannya ke dunia Romawi. Kita tahu itu sangat tua karena groma berasal dari zaman Ptolemeus (3 - 1 SM) berada di oasis fayum di Mesir; penggunaannya dipegang dengan tangan secara langsung. (gbr. 1).[2]




Gbr. 1
Bangsa Romawi menggunakan Groma untuk merancang kota-kota baru, distrik-distrik dan jalan-jalan atau untuk mengukur dan membagi tanah; singkatnya memiliki bagian pendukung (ferramentum) dengan ujung runcing sehingga dapat menempel di tanah dan tiang bulat untuk memasukkan rostra (umblicius soli), yaitu, batangan dengan panjang sekitar satu kaki Romawi, dalam panjang (0, 2963 m), juga dengan dua ujung bundar, satu untuk bagian vertikal dan yang lainnya untuk engsel putaran groma itu sendiri. Yang terakhir adalah salib dengan empat lengan rindu masing-masing sekitar 1,5 m.[3]
Panjang kaki Romawi; seutas tali yang tergantung di kedua ujungnya. Bobot masing-masing pasangan lengan adalah sama sehingga dua sumbu mudah dikenali. Kita tahu kira-kira seperti apa itu berkat karya Matteo della Corte (gbr. 2a), arkeolog yang selama penggalian di Pompeii pada tahun 1912 menemukan logam tersebut. bagian dari groma di bengkel pandai besi (gbr. 2b-c).[4]






Gbr. 2a                                                            Gbr. 2b-c.

Bagian-bagian perunggu pada gambar 2b dan 2c yang bertempat di Museum Arkeologi di Naples jelas merupakan bagian dari instrumen yang ditemukan di Pompeii; sebenarnya rostra memiliki engsel yang dimaksudkan untuk dimasukkan ke dalam takikan groma sehingga bagian atas dapat berputar. Konfirmasi lebih lanjut, teori kami ini berasal dari gambar bobot Matteo della Corte - identik dengan yang terkait dengan rostra di Museum Arkeologi di Naples (gbr. 2b). Dua groma diwakili pada dua plak penguburan yang mungkin milik dua agrimensores, yaitu, dua teknisi yang merupakan bagian dari perusahaan yang ditugaskan untuk mengukur tanah (gbr. 3). Jika Anda melihat lebih dekat, Anda akan melihat bahwa mereka berbeda: plak Ivrea persis seperti groma yang ditemukan di Pompeii dengan lengan ramping dan lubang di tengah, sedangkan plakat Nocera menunjukkan groma sebagai alat berat dengan takik daripada sebuah lubang di tengah.[5] Namun lubang di tengah kedua groma terletak di engsel silinder rostra sehingga lengan bisa berputar dengan mudah; ini juga membuat groma mudah dibongkar dan dipindahkan. Sisa-sisa dan gambar-gambar arkeologis yang selamat bersaksi tentang desain fungsional dan dasar yang membuat groma mudah digunakan dan diangkut; Namun itu juga padat dan tahan lama karena bagian atas groma terbuat dari bahan yang sangat tahan dan bentuk geometris yang sesuai.[6]






Gbr. 3

Kisah  lama yang terekam oleh sejarah pada saat ini, menunjukan  perkembangan ilmu dibidang survey  pertama kali di daerah Mesir.  Herodotus menjelaskan bahwa di era Sesostris (sekitar 1400 SM) dibagi tanah mesir ke dalam sebuah gambar untuk tujuan perpajakan.  sungai nil menyapu sebagian dari plot ini, dan surveyor ditunjuk untuk menggantikan batas. Pada awalnya surveyor disebut tali tandu, karena pengukuran mereka dibuat dengan tali yang memiliki penanda di setiap satuan jarak.
            Sebagai konsekuensi dari pekerjaan ini, pemikir Yunani mulai mengembangkan ilmu geometri. Mereka sangat mengutamakan kemajuan dari ilmu tersebut. Seorang penemu kebangsaan Yunani bernama Heron berusaha menerapkan ilmu pengetahuan untuk melakukan survei di sekitar 120 SM. Ia adalah penulis dari beberapa buku tentang surveyor. termasuk dioptra, yang menceritakan Métode survei  di lapangan, menggambar perencanaan, dan membuat perhitungan. Ini juga termasuk menjelaskan salah satu bagian yang pertama dari peralatan survey yang terekam, yaitu Diopter. Bertahun-tahun Heron berkuasa di kalangan surveyor Yunani dan Mesir.
            Perkembangan yang signifikan dalam seni survei berasal dari pemikir-pemikir praktis Romawi, yang paling terkenal tulisan di survei adalah tulisan Frontinus. Meskipun naskah asli menghilang, sebagian karyanya telah  tersimpan.
            Frontinus adalah seorang insinyur romawi  di bidang survey dan tercatat  hidup pada abad pertama, adalah seorang pelopor di lapangan, dan tulisannya menjadi acuan selama bertahun-tahun. Kemampuan keteknikan bangsa Romawi telah didemonstrasikan oleh pekerjaan proses konstruksi yang luas untuk membangun kekaisaran. Survey yang diperlukan untuk konstruksi ini mengakibatkan terbentuknya organisasi serikat surveyor. Peralatan canggih terus dikembangkan dan dipergunakan. Diantaranya yaitu Groma, dipergunakan untuk pengamatan; LIbella; dengan pemberat (unting-unting) untuk pengukuran kedataran;  Chorobates, terbuat dari kayu, berbentuk  horisontal / lurus, memiliki ketinggian sekitar 20 kaki (6 meter) dengan dukungan 4 buah lengan dan bagian atas digenangi air untuk menunjukan ketinggian.[7]                                
Komponen dan Kegunaan Groma
            Groma adalah alat utama yang digunakan oleh para surveyor Romawi untuk melacak garis-garis sederhana dan orthogonal, yang diperlukan untuk pembangunan jalan, kota, kuil dan subdivisi lahan pertanian.[8]
            Menurut ahli bahasa istilah groma berasal dari bahasa Yunani koresponden gnoma, tetapi ada yang membuatnya berasal dari agrumus (bidang tanpa tumpukan), itu adalah rencana di mana mereka menggunakan groma.[9]
            Alat topografi ini disusun oleh tiga bagian mendasar :[10]
  1. Stelletta dibentuk oleh dua lengan yang sama, menyilang dan membentuk sudut kanan, dibuat dari logam berongga dengan penguatan jiwa di kayu; dari empat ekstremitas, yang disebut curnicula, empat benang (garis tegak lurus) jatuh tiba-tiba dengan bobot ditambah kerucut atau bentuk pir.
  2. Rostrum, adalah tiang yang kuat dengan ekstremitas silinder: satu untuk menerima poros putar stelletta, yang lain untuk okulasi di kutub vertikal; jarak di antara kedua silinder itu berukuran satu kaki (0,2963 m).
  3. Ferramento, itu adalah tiang di logam berongga yang mampu mendukung bagian sebelumnya, dilengkapi dengan ekstremitas inferior dengan titik bentuk kerucut logam, untuk pemasangan.
Gambar 4.
Groma diposisikan dengan ferramento dalam posisi vertikal, menggunakan garis tegak lurus, untuk memverifikasi paralelisme. Melalui garis tegak lurus kelima, mereka memusatkan stelletta dengan titik stasiun.
Intinya bisa dipalu di tanah atau ad lapidem, batu tertentu yang dibawa oleh surveyor.
Dengan cara ini groma siap digunakan.

Aplikasi Groma
Supaya mudah untuk memahami bagaimana cara menggunakan groma secara dasar, maka baiknya diterangkan dalam bentuk gambar di bawah ini beserta dengan keterangannya.
                       
Gambar 5.                                                       Gambar 6a.
Gambar .6b.

Keterangan gambar 4,  5,  6 dan 7.[11]
Gambar 4.
Pelacakan Penyandingan Sederhana Antara Poin A dan B.
Groma dipasang di stasiun di titik A dan di titik B ditanam di metae (tiang). Kemudian Stelletta diputar untuk mengarahkannya ke sepasang target metae di B. Sejumlah metae ditanam ke arah pandangan ini, untuk mendapatkan keberpihakan pada perataan ini sehingga mendapatkan garis lurus. Ini adalah prosedur dasar untuk semua operasi dengan groma.
Gambar 5.
Pelacakan Dari Perubahan Orthogonal Antara Mereka. 
Setelah membentuk AB alignment pertama, groma ditempatkan di stasiun pada titik di termedio C, melintasi dua arah yang akan dilacak.  Kemudian memutar "bintang”, tujuannya didirikan pada metae di A dan di B melalui pasangan target pertama.  Dengan demikian memperbaiki "bintang kecil", titik D dan E diarahkan melalui langkah kedua, mengikuti prosedur dasar. Ini adalah kasus yang paling sering dalam penggunaan groma.
Gambar 6.
Penentuan Jarak Titik Yang Tak Termasuk Titik Stasiun.
 Groma diposisikan pertama pada titik stasiun A dan titik B yang tidak dapat diakses diarahkan dengan pasangan target pertama.  Kemudian penyelarasan ortogonal didirikan ke garis AB, dengan menggunakan pasangan target lainnya, menentukan titik C pada jarak tertentu dari A.  Dengan groma di C, alignment (pelurusan) C D tegak lurus didirikan.  ke A C.  Panjang AC dibagi menjadi dua bagian yang sama dan groma diperbaiki pada titik tengah E, memperpanjang keselarasan B E sampai pertemuan dengan CD, diperoleh  titik F.  Jarak CF sama dengan jarak yang dicari.
Prosedur ini (dengan pengertian gambar) diterapkan untuk menghitung lebar sungai, tingkat rawa-rawa dan rawa-rawa, jarak kapal yang mendekati pelabuhan.  Selain itu, dengan groma data untuk menggambar bentuk medan ditemukan, yaitu sketsa topografi, berorientasi dengan  bantuan “gnomon” pengurangan portabel jam solarl besar).  Groma juga digunakan setelah zaman Romawi, kemudian menjadi tidak digunakan, disusul oleh instrumen yang lebih halus.  Apa yang malah tetap diperbaiki dari waktu ke waktu adalah prinsip-prinsip konstruksi dan pengukuran, yang masih ditemukan hari ini berdasarkan fungsi dari model  survei, kotak silinder dan bola.
Kegunaan Lain dan dalam progres
  1. Untuk membantu dan  mempermudah pengukuran arah kiblat. Dengan cara membidik hasil pengukurannya, baik yang diukur denga tongkat istiwa’, theodolite, maupun lainnya. Kemudian tinggal tarik garis lurus ke depan, belakang, samping kanan dan kiri. Sehingga ketika luas tanah  Musola atau Masjid itu berbentuk persegi panjang atau persegi, maka langsung dapat ditarik ke semua empat arah.
  2. Ketika alat pencari kiblat, seperti mizwala atau istiwaaini dimofidikasi dan ditaruh atas groma, penggunaannya akan lebih efektif dan langsung bisa dicari garis lurus sesuai hasil ukurannya secara langsung.
  3. Untuk tongkat di hari tanpa bayangan.
  4. Untuk tongkat istiwa’ pada hari roshdul qiblat.
  5. Untuk tongkat istiwa’ pada praktek penentuan awal waktu duhur dan ashar.















Daftar Pustaka
World Jambore Mondial, Esperienze Progeti 125, Rivista Bimistrale del, Centro Studi ed esperienze scaut Baden Pawell (Chile : Autorizz. Tribunalle do Modena , 1999). File pdf dalam bahasa Spanyol.
Marco Ceccarelli, dkk., “The groma, the surveyor's cross and the chorobates. In-depth notes on desaign of old instruments and their use”. Jurnal Disegnare : idee immagini, ideas images, XXII, Anno 42, (2011).
http://www.jasasurveypemetaan.com/fakta-menarik-tentang-surveying/. Diakses Jumat, 04 Oktober 2019, pukul 21.00 wib..



[1]http://www.jasasurveypemetaan.com/fakta-menarik-tentang-surveying/. Diakses Jumat, 04 Oktober 2019, pukul 21.00 wib.
[2]  Marco Ceccarelli, dkk., “The groma, the surveyor's cross and the chorobates. In-depth notes on desaign of old instruments and their use”. Jurnal Disegnare : idee immagini, ideas images, XXII, Anno 42, (2011).  22.

[3]  Ibid., 23.
[4]  Ibid., 23.
[5]  Ibid., 23.
[6]  Ibid., 23.
[8] World Jambore Mondial, Esperienze Progeti 125, Rivista Bimistrale del, Centro Studi ed esperienze scaut Baden Pawell (Chile : Autorizz. Tribunalle do Modena , 1999),  h. 6. File pdf dalam bahasa Spanyol.
[9] World Jambore Mondial, Esperienze Progeti 125, Rivista Bimistrale del, Centro Studi..., h. 6.
[10] World Jambore Mondial, Esperienze Progeti 125, Rivista Bimistrale del, Centro Studi..., h. 7. 
[11]  World Jambore Mondial, Esperienze Progeti 125, Rivista Bimistrale del, Centro Studi..., h. 26-27. 

Kamis, 07 November 2019

AL MUHAFAZATU ALA AL QADIIM AL SHALIH WA AL-AKHDZU BI AL JADID AL ASLAH TRANSFORMASI BUDAYA PESANTREN

URGENSI PARADIGMA AL-MUHÂFAZATU ‘ALA  AL-QADI>>>>>>>>>>>>>M  AL-SHÂLIH WA AL-AKHDZU BI AL-JADÎD AL-ASLAH  
TRANSFORMASI BUDAYA PESANTREN DALAM RANAH PUBLIK


Oleh : 
Alaik Ridhallah
UIN Walisongo Semarang

Mengabdi di Pondok Pesantren Mahasiswa At-taharruriyah Semarang


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Jika mendengar kata “Pondok Pesantren”, sekilas pertama kali yang ada di benak kita yaitu sebuah lembaga pendidikan non formal, menggunakan kitab-kitab klasik (salafi) dalam kajian kurikulumnya, sehingga identik dengan mempelajari kosa kata Bahasa Arab yang rumit. Begitu pula ada yang berfikiran bahwa  Pondok Pesantren, selanjutnya disingkat Ponpes, merupakan model pendidikan yang kuno, sulit berkembang, tidak demokrasi, model kepengurusannya hierarki, dan lain sebagainya. Hal ini memang tidak dipungkiri, di era globalisasi ini banyak ponpes yang masih menerapkan model pendidikan seperti itu. Meskipun demikian, cara ponpes dalam mengelola pendidikan pastinya mempunyai nilai lebih dan kurang masing-masing. Namun di era saat ini, apakah model pengelolaan ponpes yang masih kuno tersebut akan dapat menjawab tantangan zaman yang dinamis ini. Apalagi adanya pemahaman radikalisme, ekstrimisme, fundamentalis dalam pengaplikasian beragama di ranah publik. Kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlahnya ribuan, di dalamnya terdapat bermacam-macam suku, ras dan agama (SARA), sehingga tak dapat dinafikan dengan keberagaman tadi, akan menimbulkan pertikaian karena adanya perbedaan. Meskipun perbedaan ini merupakan Sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri adanya.
Berkembangnya alat-alat teknologi saat ini sulit dibendung, dengannya semua orang mudah untuk mengakses dan menerima informasi. Akibat kemudahan itu terkadang orang mudah terprofokasi dengan adanya berita hoax. Pemahaman-pemahaman radikalisme di dunia maya banyak berterbaran, bahkan santri ada pula yang terjerumus ke dalam dunia tersebut, dengan melakukan pengeboman atau penyerangan terhadap sesama muslim mengatasnamakan jihad. Dengan beralasan pemahaman tentang agama yang berbeda.  
Adanya kaidah Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m  Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah   (senantiasa berusaha penjaga tradisi yang bernilai baik dan menjadi pesantren yang terbuka terhadap sesuatu yang datang dari luar-modernitas dan dinilai dapat bermanfaat bagi kemajuan pesantren), merupakan identitas para pengelola ponpes dan santri untuk menjawab tantangan zaman. Kaidah tersebut seharusnya digunakan untuk menyaring semua informasi apapun, apalagi paham radikal yang akhir-akhir ini menghantui para santri, bahkan ada yang menjadi seorang teroris. Meskipun dahulunya belajar ilmu agama dari kecil itu bisa luntur dengan bertahap akibat salah bergaul dan menerima informasi di zaman yang serba instan ini. 
Banyak sekali literatur yang membahas tentang dunia pesantren,  buku karya Zamakhsari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.[1]  Zamakhsari memfokuskan perhatian pada tradisi pendidikan Islam tradisional, di mana pesantren memegang posisi sentral dan mengerucutkan perhatian pada pandangan Kyai dalam kehidupan kepesantrenan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif[2], dalam bukunya ia mengkaji tentang peran local wisdom sebagai sarana dalam penguatan karakter dan modal sosial. Pesantren memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan budaya yang bernilai tinggi merupakan hasil ijtihad para pendirinya, dalam keikutpesertaan pesantren dalam menjawab dan memecahkan segala persoalan kebangsaan.
Tulisan ini akan berfokus pada peran ponpes dan tanggung jawab sosial dalam kemasyarakatan, guna mewujudkan perdamaian. Penulis ingin menggambarkan kalau ponpes bagaikan Indonesia mini, yang di dalamnya adanya interaksi satu santri dengan lainnya yang v hidup rukun dan damai. Sehingga dapat diiplimentasikan saat santri sudah lulus dan hidup di dalam masyarakat yang majmuk ini. Selanjutnya pesantren sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan dan pengamalan agama tidak tertutup dengan dunia luar, kaidah   Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m  Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah sebagai panduan dalam menyaring modernitas yang tidak dapat kita tolak, dan juga tak mungkin dihindari. Dari pemaparan latar belakng di atas, didapatkan dua rumusan masalah yang akan dikaji yaitu :
1.      Bagaimana peran Inklusifitas Pesantren dalam Ruang Publik ?
2.      Bagaimana pengaplikasian kaidah Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m  Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah dalam keseharian santri ?









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Inklusifitas Pesantren dan Ruang Publik
Di era multikulturalisme dan pluralisme, Pendidikan Agama Islam sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivitas beragama.[3] Diperlukan upaya-upaya preventif agar hal ini tidak menjadi bumerang bagi Islam. Kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia maka Islam sebenarnya berpeluang besar mempengaruhi tata hidup kemasyarakatan dan kebangsaan di tanah air.[4] Melihat konteks tersebut, kaum muslim perlu menyadari bahwa kedudukannya sebagai umat mayoritas perlu dibarengi dengan sikap apresiatif dan penghargaan terhadap hak-hak keagamaan dan apresiasi sosial-politik kelompok non-Muslim.
Kemajemukan Indonesia merupakan kekuatan sosial dan dengan keragaman yang indah apabila satu sama lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Namun, pada sisi lain, kemajemukan tersebut apabila tidak dikelola dan dibina dengan tepat dan baik akan menjadi pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Pasca reformasi dengan runtuhnya Soeharto dari kekuasaannya, munculnya kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi dan kekerasan. Krisis moneter, ekonomi, dan politik yang bermula sejak 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan monokulturalisme dan hegemoni kebudayaan mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang plural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan serta pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provisionalisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi bangsa.[5]
Salah satu lembaga pendidikan yang sudah tua adalah pesantren, sebagai salah satu subkultur sosial yang seringkali disebut orang sebagai lembaga tradisional yang ada di Indonesia, tidak luput dari jangkauan proses tersebut. Eksistensinya akan selalu ditantang oleh perubahan sebagai sebuah kebutuhan yang mengalami pergeseran nilai. Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan kebutuhan pendukungnya menjadi ujian bagi kelangsungan eksistensinya sehingga transformasi sosio-kultural yang ditempuhnya harus senantiasa memperhatikan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.[6]
Kemudian definisi pondok pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan sesorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai.[7] Abdurrahman Mas’ud, mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of hisor her time to live in and acquire knowledge.[8] Mengacu pada tempat di mana para santri mencurahkan sebagian besar waktunya untuk hidup dan memperoleh pengetahuan. Mastuhu sendiri memberi batasan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[9]
Zamakhsyari Dhofier menggambarkan definisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[10] Secara singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya. Dalam hal ini tradisi keilmuan pesantren perlu dipelihara sebagai sebuah media pembelajaran yang khas, namun tidak menutup kemungkinan pesantren terbuka dengan dunia luar demi kemajuan yang progresif menuju pada perubahan sistem yang lebih komprehensif. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren baru dapat disebut pondok pesantren apabila memenuhi 5 syarat, yaitu: (1) ada kyai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, dan (5) ada pengajian kitab kuning.[11]
Pesantren sebagai pusat kegiatan keagamaan murni (tafaqquh fiddin) untuk penyiaran agama Islam. Itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Identitas lain yang sering melekat pada pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang mengajarkan Islam ortodoks secara konservatif. Maka pesantren perlunya melakukan evolusi mengikuti perkembangan dan perubahan. Atau pesantren dituntut mampu untuk melakukan inovasi-inovasi secara interen maupun ekstern untuk merespon perubahan. Salah satunya bagaimana pesantren mampu membuka diri sebagai bagian bangsa dalam kemajemukannya.
1.    Sejarah Pesantren
Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kiai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, bahkan luar daerah.[12] Telah banyak sumber yang menjelaskan mengenai asal-usul pesantren, tentang kapan awal mula berdirinya, bagaimana proses berdirinya dan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia pesantren pun seperti istilah kiai, santri yang unsurnya masih menjadi perdebatan. Mengenai Sejarah dan latar historis berdirinya pesantren di Indonesa berdasarkan Ensiklopedi Islam terdapat beberapa versi pendapat. Pertama, Pendapat yang menjelaskan bahwa asal mula pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat atau tasawuf. Hal ini karena pesantren memiliki keterkaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat tersebut berdasarkan pada awal penyebaran Agama Islam di Indonesia yang lebih dikenal dengan kegiatan tarekat yang senantiasa melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut dengan kiai dalam melaksanakan ibadah tertentu. Selain itu juga, biasanya menyediakan kamar-kamar kecil yang letaknya di kiri atau kanan masjid untuk tempat penginapan dan memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama, yang kemudian aktifitas itu dinamakan pengajian.[13]
Dalam perkembangannya lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pendidikan yang disebut pesantren. Kedua, ada yang berpendapat bahwa pesantren yang tidak asing kita kenal saat ini merupakan pengadopsian sistem pendidikan yang pernah didirikan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat tersebut berdasar pada terdapatnya fakta bahwa pada masa Pra-Islam di Indonesia telah ditemukan beberapa lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren. Lembaga tersebut digunakan untuk tempat belajar dan mengajarkan ajaran agama Hindu dalam membentuk kader-kader penyebar ajaran Hindu. Terdapat penguatan dari pendapat lain yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan sejenis pesantren ini tidak ditemukan di negara-negara Islam, melainkan banyak ditemui di negara yang menganut kepercayaan Hindu Budha seperti halnya Myanmar dan Thailand.[14]
2.        Inklusifitas dan Perdamaian
Pesantren sebagai salah satu sistem pendidikan indegenous yang telah berabad-abad berperan membentuk karakter dan watak umat Islam di Indonesia. Pesantren seharusnya memiliki potensi menjadi salah satu basis baik secara diskursif maupun moral-praktis dalam menyemaikan nilai-nilai perdamaian di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh, pendidikan pesantren pada awal kemunculannya memiliki basis pendidikan perdamaian yang komperhensif. Sebagaimana dikutip dari Suparno dalam bukunya ”Pendidikan Perdamaian” mengemukakan bahwa pendidikan perdamain itu mengacu pada karakteristik perdamaian, yang meliputi: 1) Perdamaian itu bersifat dinamis, 2) perdamaian itu ialah sebuah penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan, 3) perdamaian itu menunjukkan hasil keseimbangan dalam melakukan interaksi sosial, sehingga masyarakat hidup dengan harmoni, 4) perdamaian itu ramah (baik) untuk masyarakat, 5) bila kekerasan merajalela, tentu perdamaian tidak akan tercipta, 6) bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian haruslah berpijak diatas keadilan dan kebebasan (justice and liberty), 7) bila keadilan dihiraukan dan kebebasan dilumpuhkan, maka perdamaian tidak akan tercipta.[15] Ada sikap yang harus dikembangkan dalam sistem pendidikan di pesantren, dimana pesantren sudah seharusnya mendidik umatnya melalui sikap-sikap dan pemikiran yang moderat. Menerima dan menyadari adanya keberagamaan yang merupakan sunnatullah, dengan adanya perbedaan itu dijadikan untuk saling mengenal, bukan sebaliknya yang saling mencurigai.
Dewasa ini, pesantren dituntut untuk menerapkan model pendidikan yang mengkonstekstualisasikan materi-materi khas pesantren dengan isu-isu yang up to date. Materi keislaman yang biasanya hanya berkutat pada kajian kitab turats (kitab-kitab klasik), sekarang ini haruslah mulai nampak diterjemahkan lebih membumi dengan mengintegrasikan terhadap isu-isu kemanusiaan laiknya hak asasi manusia, gender, human traficking, global warming, ekologi, kemajuan teknologi, serta dinamika persoalan humanitas lainnya.[16] Ini menunjukkan kalau santri itu berfikiran maju dan tidak kuno, meskipun di lokalitas pesantren, santri harus berfikiran global.
Dalam situs nu.or.id, terdapat artikel “Sembilan Alasan Pesantren Tepat Dijadikan sebagai Laboratorium Perdamaian”. Pertama, prinsip maslahat (kepentingan umum) merupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren. Tidak ada ceritanya orang-orang pesantren meresahkan dan menyesatkan masyarakat. Justru kalangan yang membina masyarakat kebanyakan adalah jebolan pesantren, baik itu soal moral maupun intelektual. Kedua, metode mengaji dan mengkaji. Selain mendapatkan bimbingan, teladan dan transfer ilmu langsung dari kiai, di pesantren diterapkan juga keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab. Tatkala muncul masalah hukum, para santri menggunakan metode bahts al-masa’il untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum menjadi keputusan hukum. Melalui ini para santri dididik untuk belajar menerima perbedaan, namun tetap bersandar pada sumber hukum yang otentik. Ketiga, para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian). Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan realitas kebutuhan sosial. Keempat, pendidikan kemandirian, kerjasama dan saling membantu di kalangan santri. Lantaran jauh dari keluarga, santri terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas dan gotong-royong sesama para pejuang ilmu. Kelima, lahirnya beragam kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar. Setting kamar kebanyakan pesantren relatif padat. Satu kamar berukuran kecil bisa ditempati oleh 8 orang lebih. Kondisi ini membuat mereka sering membuat forum kecil untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius. Dialog kelompok membentuk santri berkarakter terbuka terhadap hal-hal berbeda dan baru. Keenam, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra tumbuh subur di pesantren. Seni dan sastra sangat berpengaruh pada perilaku seseorang, sebab dapat mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan-pesan keindahan, harmoni dan kedamaian. Ketujuh, penanaman spiritual. Tidak hanya soal hukum (fikih) yang didalami, banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk tazkiyatun nafs, yaitu proses pembersihan hati. Ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa, sehingga akan melahirkan fikiran dan tindakan yang bersih dan benar. Makanya santri jauh dari pemberitaan tentang intoleransi, pemberontakan, apalagi terorisme. Kedelapan, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Perlawanan kultural di masa penjajahan, perebutan kemerdekaan, pembentukan dasar negara, tercetusnya Resolusi Jihad 1945, hingga melawan pemberontakan PKI misalnya, tidak lepas dari peran kalangan pesantren. Sampai hari ini pun komitmen santri sebagai generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar. Sebab, mereka masih berpegang teguh pada kaidah hubbul wathan minal i>man (cinta tanah air sebagian dari iman). Kesembilan, merawat khazanah kearifan lokal. Relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis.[17]

  1. Paradigma Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>M  Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah dalam Keseharian
Di era globalisasi sekarang, sungguh pesantren dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks jika dibanding dengan periode-periode sebelumnya. Maka, menurut Gus Solah menempatkan pesantren menjadi inklusif dan tidak menutup diri pada sesuatu yang datang dari luar, sekaligus menjadi penjaga tradisi yang bernilai baik adalah sebuah keniscayaan. Pesantren harus mampu mendialogkan kepentingan agama dengan perubahan zaman, mencari jalan tengah antara tradisionalis dan yang modernis, antara yang konservatif dan yang progresif, antara yang tekstualis dan kontekstualis. Pemikiran modernis yang lebih menekankan kebebasan berfikir dan mengadopsi istilah-istilah asing atau kebudayaan lain belum tentu sesuai dengan situasi sosial masyarakat kita, sementara pemikiran konservatif yang menutup diri dari kebudayaan atau dunia luar merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap amanah sejarah. Apalagi memunculkan sikap fanatisme berlebihan dan menganggap paling benar serta menuding / mengklaim pihak lain sebagai bid’ah dan kafir.[18]
Masih mengutip buku yang sama, sementara landasan yang melatarbelakangi keterbukaan pesantren adalah Kiai Hasyim Asy’ari, yang senantiasa menganjurkan untuk mampu bersikap terbuka dan fleksibel dengan tuntutan globalisasi. Beliau dianggap telah mengajarkan banyak hal terkait kemampuan untuk beradaptasi dan menjawab tantangan perubahan. Justru karena sikap keterbukaan inilah yang menyebabkan pesantren ini (tebuireng) tetap bertahan dan mencapai puncak kesuksesan hingga sekarang. Bahkan kalau selama ini terdapat sikap tarik menarik dalam dunia Islam antara tradisionalisme dan modernisme, dikotomi antara ilmu agama dan non agama justru–dengan kekenyalan dan keterbukaan pesantren Tebuireng dapat diselesaikan dengan cara menjadikan tradisionalisme sebagai wadah untuk mengakomodasi modernisme. Meskipun harus diakui, nampaknya melakukan pembaharuan pesantren telah menempati proporsi yang cukup dominan, daripada menjaga tradisi pesantren yang telah lama berkembang.[19] Upaya-upaya yang dimaksud adalah mengembangkan sejumlah khazanah-khazanah keislaman yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan serta kontekstualisasi dengan zaman kekinian dan kedisinian.
Adapun sebagai salah satu organisasi Islam moderat di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah penarik gerbong utama sebagai pelopor Islam yang sangat menjunjung perdamaian dan toleransi. Secara garis besar NU mengupayakan tiga hal yang harus dilakukan generasi mudanya, apalagi yang satusnya sebagai santri di pondok pesantren untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Pertama, membangun pemikiran Islam yang berbasis kultur Indonesia yang dipadukan dengan modernisasi, yaitu dengan mengembangkan pemahaman-pemahaman dan sikap yang ramah, santun, dan berbasis tradisi Indonesia disatu sisi dan memahami modernitas zaman kekinian dan kedisinian disisi lain. Kedua, mengupayakan gerakan keislaman berbasis ekonomi kreatif kerakyatan yang sosialis, yaitu dengan membangun sebuah tatanan aktivitas perekonomian yang memberikan pengajaran keterampilan serta pemberdayaan masyarakat dalam pelaku ekonomi, apalagi dalam tingkatan usaha kecil menengah. Upaya ini dirasakan begitu penting, dimana sejumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal adalah karena motif himpitan ekonomi. Ketiga, menciptakan ruang dialog inklusif (terbuka) baik dengan kelompok atau aliran internal dalam Islam maupun dengan berbagai kalangan pemuka agama non-Islam. Tindak kekerasan tidak jarang timbul karena adanya sikap saling mencurigai (su’udzon). Yakni menaruh kecurigaan dan kebencian terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Oleh sebab itu, membuka dialog inklusif adalah solusi efektif dalam meredam kecurigaan, kebencian, dan tindak kekerasan. Apalagi jika ponpes sebagai garda terdepan dalam pelaksanaannya.














BAB III
PENUTUP    
  1. Kesimpulan
Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kiai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, bahkan luar daerah. Pesantren sebagai salah satu sistem pendidikan indegenous yang telah berabad-abad berperan membentuk karakter dan watak umat Islam di Indonesia. Pesantren seharusnya memiliki potensi menjadi salah satu basis baik secara diskursif maupun moral-praktis dalam menyemaikan nilai-nilai perdamaian di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh, pendidikan pesantren pada awal kemunculannya memiliki basis pendidikan perdamaian yang komperhensif.
Pesantren seharusnya  menjadi inklusif dan tidak menutup diri pada sesuatu yang datang dari luar, sekaligus menjadi penjaga tradisi yang bernilai baik adalah sebuah keniscayaan. Pesantren harus mampu mendialogkan kepentingan agama dengan perubahan zaman, mencari jalan tengah antara tradisionalis dan yang modernis, antara yang konservatif dan yang progresif, antara yang tekstualis dan kontekstualis. Pemikiran modernis yang lebih menekankan kebebasan berfikir dan mengadopsi istilah-istilah asing atau kebudayaan lain belum tentu sesuai dengan situasi sosial masyarakat kita, sementara pemikiran konservatif yang menutup diri dari kebudayaan atau dunia luar merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap amanah sejarah. Apalagi memunculkan sikap fanatisme berlebihan dan menganggap paling benar serta menuding / mengklaim pihak lain sebagai bid’ah dan kafir. Contoh keseharian yang mencerminkan keterbukaan seorang santri adalah ketika dihadapkan dengan berita yang masih simpang siur, santri tidak menerimanya begitu saja, tetapi melakukan tabayyun terlebih dahulu, karena di dalam ilmu mantiq (logika-berfikir) sudah diajarkan bahwa berita atau khabar itu memuat sidiq dan kadzib, mungkin iya, mungkin tidak. Selain itu, dalam diskusi masalah-masalah keagamaan kontemporer, santri tidak hanya berpedoman literatur klasik saja, akan tetapi dipadukan dalam realitas yang ada dan dikaitkan dengan keilmuan yang terkait dengan masalah tersebut, meskipun ilmuan itu seorang non muslim, hal ini disebut dengan ijtihad jama’i.
  1. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang kami susun tentan Paradigma Dan Filosofi Al-Muhâfazatu ‘Ala  Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>M  Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah Dalam Transformasi Budaya Pesantren Bagi Promosi Perdamaian Dunia. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh daripada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Mengutip dari Gus Dur, “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.













Daftar Pustaka
Buku :
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press, 1993.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Ma’arif, Syamsul. Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2015.
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS, 1994.
SM (ed), Ismail. Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cet pertama. Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung : Rosdakarya, 2001.



Jurnal / Makalah :
Rohmadi, Syamsul Huda. Pendidikan Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis - Sosiologis di Indonesia). Institute Agama Islam Negeri Surakarta, lihat di e-journal.kopertais4.or.id. 13 Oktober 2019.
Muslihah, Eneng. “Pesantren Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian Studi Kasus Di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten”,  ANALISIS : Jurnal Studi Keislaman, (Vol. 14, No. 2, Desember, 2014.
Setiya Permana W., Irfan  “Implementasi Toleransi Beragama Di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Universal Bandung)”, Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama ISSN 2089-8835, Vol. 2 No. 1, 2019.
Salamah Zainiyati, Husniyatus. “Pendidikan Multikultural Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif Di Sekolah”. Jurnal Islamika, Vol.1, no. 2, Maret 2007.
Arif, Mahmud. “Pendidikan Agama Islam Inklusif Multikultural”. Jurnal Jurusan Pendidikan Agama Islam, Vol. I, no 1, Juni 2012.



Internet :
https://www.nu.or.id/post/read/97458/sembilan-alasan-pesantren-tepat dijadikan sebagai-laboratorium-perdamaian, 12 Oktober 2019.


[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994),  18.
[2] Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2015),  229.
[3]  Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan Multikultural Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif Di Sekolah”. Jurnal Islamika, 3  (2007). 135.
[4]  Mahmud Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif Multikultural”. Jurnal Jurusan
Pendidikan Agama Islam, 6  (2012),  2.
[5]  Syamsul Huda Rohmadi, “Pendidikan Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis - Sosiologis di Indonesia)”. Institute Agama Islam Negeri Surakarta, lihat di ejournal.kopertais4.or.id. 13 Oktober 2019.
[6]  Ibid., Institute Agama Islam Negeri Surakarta, lihat di ejournal.kopertais4.or.id. 13 Oktober 2019.
[7]  Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press, 1993),  6.
[8]  Ismail SM (ed), Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cetakan pertama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000). 17
[9]  Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994),  55
[10] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, 18.
[11]  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam, (Bandung : Rosdakarya, 2001), 191
[12]  Nurcholish Madjid. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997). 9.
[13] Irfan Setiya Permana W.,  Implementasi Toleransi Beragama Di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Universal Bandung), Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama. 1 (2019).  3.
[14]  Irfa Irfan Setiya Permana W.,  Implementasi Toleransi Beragama.  4.
[15] Eneng Muslihah, “Pesantren Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian Studi Kasus Di Pesantren An-Nidzomiyyah Labuan Pandeglang Banten”,  ANALISIS : Jurnal Studi Keislaman, 12 (2014). 316.
[16] Ibid., 316
[18] Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal. 229.
[19] Ibid., 230.

Universalitas Nilai Islam Pada Generasi Millenial Era Digital

       sumber gambar : republika.co.id.          Kajian mengenai sejarah peradaban Islam telah melalui dan mengalami beberapa periode, pada...