URGENSI PARADIGMA AL-MUHÂFAZATU ‘ALA AL-QADI>>>>>>>>>>>>>M AL-SHÂLIH WA AL-AKHDZU BI AL-JADÎD AL-ASLAH
TRANSFORMASI BUDAYA PESANTREN DALAM
RANAH PUBLIK
Oleh :
Alaik Ridhallah
UIN Walisongo Semarang
Mengabdi di Pondok Pesantren Mahasiswa At-taharruriyah Semarang
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Jika mendengar kata “Pondok
Pesantren”, sekilas pertama kali yang ada di benak kita yaitu sebuah lembaga
pendidikan non formal, menggunakan kitab-kitab klasik (salafi) dalam
kajian kurikulumnya, sehingga identik dengan mempelajari kosa kata Bahasa Arab
yang rumit. Begitu pula ada yang berfikiran bahwa Pondok Pesantren, selanjutnya disingkat Ponpes,
merupakan model pendidikan yang kuno, sulit berkembang, tidak demokrasi, model
kepengurusannya hierarki, dan lain sebagainya. Hal ini memang tidak dipungkiri,
di era globalisasi ini banyak ponpes yang masih menerapkan model pendidikan
seperti itu. Meskipun demikian, cara ponpes dalam mengelola pendidikan pastinya
mempunyai nilai lebih dan kurang masing-masing. Namun di era saat ini, apakah
model pengelolaan ponpes yang masih kuno tersebut akan dapat menjawab tantangan
zaman yang dinamis ini. Apalagi adanya pemahaman radikalisme, ekstrimisme,
fundamentalis dalam pengaplikasian beragama di ranah publik. Kita ketahui,
Indonesia merupakan negara kepulauan yang jumlahnya ribuan, di dalamnya
terdapat bermacam-macam suku, ras dan agama (SARA), sehingga tak dapat dinafikan
dengan keberagaman tadi, akan menimbulkan pertikaian karena adanya perbedaan. Meskipun
perbedaan ini merupakan Sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri adanya.
Berkembangnya alat-alat
teknologi saat ini sulit dibendung, dengannya semua orang mudah untuk mengakses
dan menerima informasi. Akibat kemudahan itu terkadang orang mudah terprofokasi
dengan adanya berita hoax. Pemahaman-pemahaman radikalisme di dunia maya
banyak berterbaran, bahkan santri ada pula yang terjerumus ke dalam dunia
tersebut, dengan melakukan pengeboman atau penyerangan terhadap sesama muslim
mengatasnamakan jihad. Dengan beralasan pemahaman tentang agama yang berbeda.
Adanya kaidah Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah (senantiasa berusaha penjaga
tradisi yang bernilai baik dan menjadi pesantren yang terbuka terhadap sesuatu
yang datang dari luar-modernitas dan dinilai dapat bermanfaat bagi
kemajuan pesantren), merupakan identitas para pengelola ponpes dan santri untuk
menjawab tantangan zaman. Kaidah tersebut seharusnya digunakan untuk menyaring
semua informasi apapun, apalagi paham radikal yang akhir-akhir ini menghantui
para santri, bahkan ada yang menjadi seorang teroris. Meskipun dahulunya
belajar ilmu agama dari kecil itu bisa luntur dengan bertahap akibat salah
bergaul dan menerima informasi di zaman yang serba instan ini.
Banyak sekali literatur yang
membahas tentang dunia pesantren, buku karya
Zamakhsari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai.[1] Zamakhsari memfokuskan perhatian pada tradisi
pendidikan Islam tradisional, di mana pesantren memegang posisi sentral dan
mengerucutkan perhatian pada pandangan Kyai dalam kehidupan kepesantrenan.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Ma’arif, Pesantren
Inklusif[2],
dalam bukunya ia mengkaji tentang peran local wisdom sebagai sarana
dalam penguatan karakter dan modal sosial. Pesantren memiliki nilai-nilai
kearifan lokal dan budaya yang bernilai tinggi merupakan hasil ijtihad para
pendirinya, dalam keikutpesertaan pesantren dalam menjawab dan memecahkan
segala persoalan kebangsaan.
Tulisan ini akan berfokus
pada peran ponpes dan tanggung jawab sosial dalam kemasyarakatan, guna
mewujudkan perdamaian. Penulis ingin menggambarkan kalau ponpes bagaikan
Indonesia mini, yang di dalamnya adanya interaksi satu santri dengan lainnya
yang v hidup rukun dan damai. Sehingga dapat diiplimentasikan saat santri sudah
lulus dan hidup di dalam masyarakat yang majmuk ini. Selanjutnya pesantren
sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan dan pengamalan agama tidak tertutup
dengan dunia luar, kaidah Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah sebagai panduan dalam menyaring modernitas
yang tidak dapat kita tolak, dan juga tak mungkin dihindari. Dari pemaparan
latar belakng di atas, didapatkan dua rumusan masalah yang akan dikaji yaitu :
1.
Bagaimana
peran Inklusifitas Pesantren dalam Ruang Publik ?
2.
Bagaimana
pengaplikasian kaidah Al-Muhâfazatu
‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>m Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah dalam
keseharian santri ?
BAB II
PEMBAHASAN
- Inklusifitas
Pesantren dan Ruang Publik
Di era multikulturalisme dan
pluralisme, Pendidikan Agama Islam sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya
dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivitas beragama.[3] Diperlukan
upaya-upaya preventif agar hal ini tidak menjadi bumerang bagi Islam. Kita
ketahui bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia
maka Islam sebenarnya berpeluang besar mempengaruhi tata hidup kemasyarakatan
dan kebangsaan di tanah air.[4]
Melihat konteks tersebut, kaum muslim perlu menyadari bahwa kedudukannya
sebagai umat mayoritas perlu dibarengi dengan sikap apresiatif dan penghargaan
terhadap hak-hak keagamaan dan apresiasi sosial-politik kelompok non-Muslim.
Kemajemukan Indonesia
merupakan kekuatan sosial dan dengan keragaman yang indah apabila satu sama
lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Namun, pada
sisi lain, kemajemukan tersebut apabila tidak dikelola dan dibina dengan tepat
dan baik akan menjadi pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Pasca reformasi dengan
runtuhnya Soeharto dari kekuasaannya, munculnya kebudayaan Indonesia cenderung
mengalami disintegrasi dan kekerasan. Krisis moneter, ekonomi, dan politik yang
bermula sejak 1997 mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde
Baru memaksakan monokulturalisme dan hegemoni kebudayaan mengandung implikasi
negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang plural. Berbarengan dengan
proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan serta pemerintahan, terjadi
peningkatan gejala provisionalisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas.
Kecenderungan ini jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya
disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi bangsa.[5]
Salah satu lembaga
pendidikan yang sudah tua adalah pesantren, sebagai salah satu subkultur sosial
yang seringkali disebut orang sebagai lembaga tradisional yang ada di
Indonesia, tidak luput dari jangkauan proses tersebut. Eksistensinya akan
selalu ditantang oleh perubahan sebagai sebuah kebutuhan yang mengalami
pergeseran nilai. Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan kebutuhan pendukungnya
menjadi ujian bagi kelangsungan eksistensinya sehingga transformasi
sosio-kultural yang ditempuhnya harus senantiasa memperhatikan perubahan yang
terjadi dalam lingkungannya.[6]
Kemudian definisi pondok
pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para
siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan sesorang atau lebih guru
yang lebih dikenal dengan sebutan kyai.[7] Abdurrahman Mas’ud,
mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of
hisor her time to live in and acquire knowledge.[8] Mengacu pada tempat di
mana para santri mencurahkan sebagian besar waktunya untuk hidup dan memperoleh
pengetahuan. Mastuhu sendiri memberi batasan pesantren sebagai lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[9]
Zamakhsyari Dhofier
menggambarkan definisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[10] Secara singkat pesantren
bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar
hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya. Dalam hal ini tradisi
keilmuan pesantren perlu dipelihara sebagai sebuah media pembelajaran yang
khas, namun tidak menutup kemungkinan pesantren terbuka dengan dunia luar demi
kemajuan yang progresif menuju pada perubahan sistem yang lebih komprehensif.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia.
Menurut para ahli, pondok pesantren baru dapat disebut pondok pesantren apabila
memenuhi 5 syarat, yaitu: (1) ada kyai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada
santri, dan (5) ada pengajian kitab kuning.[11]
Pesantren sebagai pusat
kegiatan keagamaan murni (tafaqquh fiddin) untuk penyiaran agama Islam.
Itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Identitas lain yang
sering melekat pada pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional yang mengajarkan Islam ortodoks secara konservatif. Maka pesantren
perlunya melakukan evolusi mengikuti perkembangan dan perubahan. Atau pesantren
dituntut mampu untuk melakukan inovasi-inovasi secara interen maupun ekstern
untuk merespon perubahan. Salah satunya bagaimana pesantren mampu membuka diri
sebagai bagian bangsa dalam kemajemukannya.
1. Sejarah Pesantren
Berdirinya suatu pesantren
mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi
kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya
pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok kiai yang memiliki kedalaman ilmu
dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar
daerahnya, bahkan luar daerah.[12] Telah banyak sumber yang
menjelaskan mengenai asal-usul pesantren, tentang kapan awal mula berdirinya,
bagaimana proses berdirinya dan bahkan istilah-istilah yang ada dalam dunia
pesantren pun seperti istilah kiai, santri yang unsurnya masih menjadi
perdebatan. Mengenai Sejarah dan latar historis berdirinya pesantren di
Indonesa berdasarkan Ensiklopedi Islam terdapat beberapa versi pendapat. Pertama,
Pendapat yang menjelaskan bahwa asal mula pesantren berakar pada tradisi
Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat atau tasawuf. Hal ini karena pesantren
memiliki keterkaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum
sufi. Pendapat tersebut berdasarkan pada awal penyebaran Agama Islam di
Indonesia yang lebih dikenal dengan kegiatan tarekat yang senantiasa
melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut dengan kiai
dalam melaksanakan ibadah tertentu. Selain itu juga, biasanya menyediakan kamar-kamar
kecil yang letaknya di kiri atau kanan masjid untuk tempat penginapan dan
memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama, yang
kemudian aktifitas itu dinamakan pengajian.[13]
Dalam perkembangannya
lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pendidikan
yang disebut pesantren. Kedua, ada yang berpendapat bahwa pesantren yang
tidak asing kita kenal saat ini merupakan pengadopsian sistem pendidikan yang
pernah didirikan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat tersebut
berdasar pada terdapatnya fakta bahwa pada masa Pra-Islam di Indonesia telah
ditemukan beberapa lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren. Lembaga
tersebut digunakan untuk tempat belajar dan mengajarkan ajaran agama Hindu
dalam membentuk kader-kader penyebar ajaran Hindu. Terdapat penguatan dari
pendapat lain yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan sejenis pesantren ini
tidak ditemukan di negara-negara Islam, melainkan banyak ditemui di negara yang
menganut kepercayaan Hindu Budha seperti halnya Myanmar dan Thailand.[14]
2.
Inklusifitas dan Perdamaian
Pesantren sebagai salah satu
sistem pendidikan indegenous yang telah berabad-abad berperan membentuk
karakter dan watak umat Islam di Indonesia. Pesantren seharusnya memiliki
potensi menjadi salah satu basis baik secara diskursif maupun moral-praktis
dalam menyemaikan nilai-nilai perdamaian di Indonesia. Bila ditelusuri lebih
jauh, pendidikan pesantren pada awal kemunculannya memiliki basis pendidikan
perdamaian yang komperhensif. Sebagaimana dikutip dari Suparno dalam bukunya
”Pendidikan Perdamaian” mengemukakan bahwa pendidikan perdamain itu mengacu
pada karakteristik perdamaian, yang meliputi: 1) Perdamaian itu bersifat
dinamis, 2) perdamaian itu ialah sebuah penyelesaian masalah yang adil tanpa
kekerasan, 3) perdamaian itu menunjukkan hasil keseimbangan dalam melakukan
interaksi sosial, sehingga masyarakat hidup dengan harmoni, 4) perdamaian itu
ramah (baik) untuk masyarakat, 5) bila kekerasan merajalela, tentu perdamaian
tidak akan tercipta, 6) bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam dinamika
interaksi sosial, perdamaian haruslah berpijak diatas keadilan dan kebebasan (justice
and liberty), 7) bila keadilan dihiraukan dan kebebasan dilumpuhkan, maka
perdamaian tidak akan tercipta.[15] Ada sikap yang harus
dikembangkan dalam sistem pendidikan di pesantren, dimana pesantren sudah
seharusnya mendidik umatnya melalui sikap-sikap dan pemikiran yang moderat.
Menerima dan menyadari adanya keberagamaan yang merupakan sunnatullah,
dengan adanya perbedaan itu dijadikan untuk saling mengenal, bukan sebaliknya
yang saling mencurigai.
Dewasa ini, pesantren
dituntut untuk menerapkan model pendidikan yang mengkonstekstualisasikan materi-materi
khas pesantren dengan isu-isu yang up to date. Materi keislaman yang
biasanya hanya berkutat pada kajian kitab turats (kitab-kitab klasik),
sekarang ini haruslah mulai nampak diterjemahkan lebih membumi dengan
mengintegrasikan terhadap isu-isu kemanusiaan laiknya hak asasi manusia,
gender, human traficking, global warming, ekologi, kemajuan
teknologi, serta dinamika persoalan humanitas lainnya.[16] Ini menunjukkan kalau
santri itu berfikiran maju dan tidak kuno, meskipun di lokalitas pesantren,
santri harus berfikiran global.
Dalam situs nu.or.id,
terdapat artikel “Sembilan Alasan Pesantren Tepat Dijadikan sebagai
Laboratorium Perdamaian”. Pertama, prinsip maslahat (kepentingan umum)
merupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren.
Tidak ada ceritanya orang-orang pesantren meresahkan dan menyesatkan
masyarakat. Justru kalangan yang membina masyarakat kebanyakan adalah jebolan
pesantren, baik itu soal moral maupun intelektual. Kedua, metode mengaji
dan mengkaji. Selain mendapatkan bimbingan, teladan dan transfer ilmu langsung
dari kiai, di pesantren diterapkan juga keterbukaan kajian yang bersumber dari
berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab. Tatkala muncul masalah
hukum, para santri menggunakan metode bahts al-masa’il untuk mencari
kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum
menjadi keputusan hukum. Melalui ini para santri dididik untuk belajar menerima
perbedaan, namun tetap bersandar pada sumber hukum yang otentik. Ketiga,
para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian). Ini merupakan
ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan
realitas kebutuhan sosial. Keempat, pendidikan kemandirian, kerjasama
dan saling membantu di kalangan santri. Lantaran jauh dari keluarga, santri
terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas dan gotong-royong sesama para
pejuang ilmu. Kelima, lahirnya beragam kelompok diskusi dalam skala
kecil maupun besar. Setting kamar kebanyakan pesantren relatif padat. Satu
kamar berukuran kecil bisa ditempati oleh 8 orang lebih. Kondisi ini membuat
mereka sering membuat forum kecil untuk membahas hal-hal remeh sampai yang
serius. Dialog kelompok membentuk santri berkarakter terbuka terhadap hal-hal
berbeda dan baru. Keenam, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra
tumbuh subur di pesantren. Seni dan sastra sangat berpengaruh pada perilaku
seseorang, sebab dapat mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan-pesan
keindahan, harmoni dan kedamaian. Ketujuh, penanaman spiritual. Tidak
hanya soal hukum (fikih) yang didalami, banyak pesantren juga melatih para
santrinya untuk tazkiyatun nafs, yaitu proses pembersihan hati. Ini
biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa, sehingga akan melahirkan
fikiran dan tindakan yang bersih dan benar. Makanya santri jauh dari
pemberitaan tentang intoleransi, pemberontakan, apalagi terorisme. Kedelapan,
kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Perlawanan kultural di masa
penjajahan, perebutan kemerdekaan, pembentukan dasar negara, tercetusnya
Resolusi Jihad 1945, hingga melawan pemberontakan PKI misalnya, tidak lepas
dari peran kalangan pesantren. Sampai hari ini pun komitmen santri sebagai
generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar. Sebab, mereka masih berpegang
teguh pada kaidah hubbul wathan minal i>man (cinta
tanah air sebagian dari iman). Kesembilan, merawat khazanah
kearifan lokal. Relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga
lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis.[17]
- Paradigma Al-Muhâfazatu ‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>M Al-Shâlih
Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah dalam
Keseharian
Di era globalisasi sekarang, sungguh
pesantren dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih kompleks jika dibanding dengan
periode-periode sebelumnya. Maka, menurut Gus Solah menempatkan pesantren
menjadi inklusif dan tidak menutup diri pada sesuatu yang datang dari luar,
sekaligus menjadi penjaga tradisi yang bernilai baik adalah sebuah keniscayaan.
Pesantren harus mampu mendialogkan kepentingan agama dengan perubahan zaman,
mencari jalan tengah antara tradisionalis dan yang modernis, antara yang
konservatif dan yang progresif, antara yang tekstualis dan kontekstualis.
Pemikiran modernis yang lebih menekankan kebebasan berfikir dan mengadopsi
istilah-istilah asing atau kebudayaan lain belum tentu sesuai dengan situasi
sosial masyarakat kita, sementara pemikiran konservatif yang menutup diri dari
kebudayaan atau dunia luar merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap amanah
sejarah. Apalagi memunculkan sikap fanatisme berlebihan dan menganggap paling
benar serta menuding / mengklaim pihak lain sebagai bid’ah dan kafir.[18]
Masih mengutip buku yang sama, sementara
landasan yang melatarbelakangi keterbukaan pesantren adalah Kiai Hasyim
Asy’ari, yang senantiasa menganjurkan untuk mampu bersikap terbuka dan
fleksibel dengan tuntutan globalisasi. Beliau dianggap telah mengajarkan banyak
hal terkait kemampuan untuk beradaptasi dan menjawab tantangan perubahan.
Justru karena sikap keterbukaan inilah yang menyebabkan pesantren ini (tebuireng)
tetap bertahan dan mencapai puncak kesuksesan hingga sekarang. Bahkan kalau
selama ini terdapat sikap tarik menarik dalam dunia Islam antara
tradisionalisme dan modernisme, dikotomi antara ilmu agama dan non agama justru–dengan
kekenyalan dan keterbukaan pesantren Tebuireng dapat diselesaikan dengan cara
menjadikan tradisionalisme sebagai wadah untuk mengakomodasi modernisme.
Meskipun harus diakui, nampaknya melakukan pembaharuan pesantren telah menempati
proporsi yang cukup dominan, daripada menjaga tradisi pesantren yang telah lama
berkembang.[19]
Upaya-upaya yang dimaksud adalah mengembangkan sejumlah khazanah-khazanah
keislaman yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan serta kontekstualisasi
dengan zaman kekinian dan kedisinian.
Adapun sebagai salah satu organisasi Islam
moderat di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah penarik gerbong utama sebagai
pelopor Islam yang sangat menjunjung perdamaian dan toleransi. Secara garis
besar NU mengupayakan tiga hal yang harus dilakukan generasi mudanya, apalagi
yang satusnya sebagai santri di pondok pesantren untuk memperkokoh persatuan
dan kesatuan.
Pertama, membangun pemikiran Islam
yang berbasis kultur Indonesia yang dipadukan dengan modernisasi, yaitu dengan
mengembangkan pemahaman-pemahaman dan sikap yang ramah, santun, dan berbasis
tradisi Indonesia disatu sisi dan memahami modernitas zaman kekinian dan
kedisinian disisi lain. Kedua, mengupayakan gerakan keislaman berbasis
ekonomi kreatif kerakyatan yang sosialis, yaitu dengan membangun sebuah tatanan
aktivitas perekonomian yang memberikan pengajaran keterampilan serta pemberdayaan
masyarakat dalam pelaku ekonomi, apalagi dalam tingkatan usaha kecil menengah.
Upaya ini dirasakan begitu penting, dimana sejumlah tindak kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok Islam radikal adalah karena motif himpitan ekonomi. Ketiga,
menciptakan ruang dialog inklusif (terbuka) baik dengan kelompok atau aliran
internal dalam Islam maupun dengan berbagai kalangan pemuka agama non-Islam.
Tindak kekerasan tidak jarang timbul karena adanya sikap saling
mencurigai (su’udzon). Yakni menaruh kecurigaan dan kebencian
terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Oleh sebab itu, membuka dialog
inklusif adalah solusi efektif dalam meredam kecurigaan, kebencian, dan tindak
kekerasan. Apalagi jika ponpes sebagai garda terdepan dalam pelaksanaannya.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Berdirinya suatu pesantren
mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah memenuhi kebutuhan
masyarakat yang haus akan ilmu. Pada umumnya diawali karena adanya pengakuan
dari suatu masyarakat tentang sosok kiai yang memiliki kedalaman ilmu dan
keluhuran budi. Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar
daerahnya, bahkan luar daerah. Pesantren sebagai salah satu sistem pendidikan indegenous
yang telah berabad-abad berperan membentuk karakter dan watak umat Islam di
Indonesia. Pesantren seharusnya memiliki potensi menjadi salah satu basis baik
secara diskursif maupun moral-praktis dalam menyemaikan nilai-nilai perdamaian
di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh, pendidikan pesantren pada awal
kemunculannya memiliki basis pendidikan perdamaian yang komperhensif.
Pesantren seharusnya menjadi inklusif dan tidak menutup diri pada
sesuatu yang datang dari luar, sekaligus menjadi penjaga tradisi yang bernilai
baik adalah sebuah keniscayaan. Pesantren harus mampu mendialogkan kepentingan
agama dengan perubahan zaman, mencari jalan tengah antara tradisionalis dan
yang modernis, antara yang konservatif dan yang progresif, antara yang
tekstualis dan kontekstualis. Pemikiran modernis yang lebih menekankan
kebebasan berfikir dan mengadopsi istilah-istilah asing atau kebudayaan lain
belum tentu sesuai dengan situasi sosial masyarakat kita, sementara pemikiran
konservatif yang menutup diri dari kebudayaan atau dunia luar merupakan sebuah
sikap pengingkaran terhadap amanah sejarah. Apalagi memunculkan sikap fanatisme
berlebihan dan menganggap paling benar serta menuding / mengklaim pihak lain
sebagai bid’ah dan kafir. Contoh keseharian yang mencerminkan
keterbukaan seorang santri adalah ketika dihadapkan dengan berita yang masih
simpang siur, santri tidak menerimanya begitu saja, tetapi melakukan tabayyun
terlebih dahulu, karena di dalam ilmu mantiq (logika-berfikir) sudah
diajarkan bahwa berita atau khabar itu memuat sidiq dan kadzib,
mungkin iya, mungkin tidak. Selain itu, dalam diskusi masalah-masalah keagamaan
kontemporer, santri tidak hanya berpedoman literatur klasik saja, akan tetapi
dipadukan dalam realitas yang ada dan dikaitkan dengan keilmuan yang terkait
dengan masalah tersebut, meskipun ilmuan itu seorang non muslim, hal ini
disebut dengan ijtihad jama’i.
- Kritik
dan Saran
Demikianlah makalah yang kami susun
tentan Paradigma
Dan Filosofi Al-Muhâfazatu
‘Ala Al-Qadi>>>>>>>>>>>>>M Al-Shâlih Wa Al-Akhdzu Bi Al-Jadîd Al-Aslah Dalam
Transformasi Budaya Pesantren Bagi Promosi Perdamaian Dunia. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh daripada
sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca. Mengutip dari Gus Dur, “Tidak penting
apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk
semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.
Daftar Pustaka
Buku :
Arifin, Imron. Kepemimpinan
Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press, 1993.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi
Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.
Ma’arif, Syamsul. Pesantren
Inklusif Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta : Kaukaba Dipantara, 2015.
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik
Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Mastuhu. Dinamika Sistem
Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS, 1994.
SM (ed), Ismail. Pendidikan
Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cet pertama. Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2000.
Tafsir, Ahmad. Ilmu
Pendidikan Dalam Prespektif Islam. Bandung : Rosdakarya, 2001.
Jurnal / Makalah :
Rohmadi, Syamsul Huda. Pendidikan
Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis - Sosiologis di Indonesia).
Institute Agama Islam Negeri Surakarta, lihat di e-journal.kopertais4.or.id. 13
Oktober 2019.
Muslihah, Eneng. “Pesantren
Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian Studi Kasus Di Pesantren An-Nidzomiyyah
Labuan Pandeglang Banten”, ANALISIS :
Jurnal Studi Keislaman, (Vol. 14, No. 2, Desember, 2014.
Setiya Permana W., Irfan “Implementasi Toleransi Beragama Di Pondok
Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Universal Bandung)”, Hanifiya:
Jurnal Studi Agama-Agama ISSN 2089-8835, Vol. 2 No. 1, 2019.
Salamah Zainiyati, Husniyatus.
“Pendidikan Multikultural Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif Di Sekolah”. Jurnal
Islamika, Vol.1, no. 2, Maret 2007.
Arif, Mahmud. “Pendidikan
Agama Islam Inklusif Multikultural”. Jurnal Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Vol. I, no 1, Juni 2012.
Internet :
https://www.nu.or.id/post/read/97458/sembilan-alasan-pesantren-tepat
dijadikan sebagai-laboratorium-perdamaian, 12 Oktober 2019.
[1]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 18.
[2]
Syamsul
Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta :
Kaukaba Dipantara, 2015), 229.
[3] Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan
Multikultural Upaya Membangun
Keberagamaan Inklusif Di Sekolah”. Jurnal Islamika, 3 (2007). 135.
Keberagamaan Inklusif Di Sekolah”. Jurnal Islamika, 3 (2007). 135.
[4] Mahmud Arif, “Pendidikan Agama Islam Inklusif
Multikultural”. Jurnal Jurusan
Pendidikan Agama Islam, 6 (2012), 2.
Pendidikan Agama Islam, 6 (2012), 2.
[5] Syamsul Huda Rohmadi, “Pendidikan Islam
Inklusif Pesantren (Kajian Historis - Sosiologis di Indonesia)”. Institute
Agama Islam Negeri Surakarta, lihat di ejournal.kopertais4.or.id. 13 Oktober
2019.
[6] Ibid., Institute Agama Islam Negeri
Surakarta, lihat di ejournal.kopertais4.or.id. 13 Oktober 2019.
[7] Imron
Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang:
Kalimasahada Press, 1993), 6.
[8] Ismail
SM (ed), Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Cetakan
pertama, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2000). 17
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Prespektif Islam, (Bandung : Rosdakarya, 2001), 191
[12] Nurcholish Madjid. Bilik-bilik Pesantren
Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997). 9.
[13] Irfan Setiya Permana
W., Implementasi Toleransi Beragama
Di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Universal Bandung), Hanifiya:
Jurnal Studi Agama-Agama. 1 (2019). 3.
[14] Irfa Irfan Setiya Permana W., Implementasi Toleransi Beragama. 4.
[15] Eneng Muslihah, “Pesantren
Dan Pengembangan Pendidikan Perdamaian Studi Kasus Di Pesantren An-Nidzomiyyah
Labuan Pandeglang Banten”, ANALISIS
: Jurnal Studi Keislaman, 12 (2014). 316.
[16] Ibid., 316
[18] Syamsul Ma’arif, Pesantren
Inklusif Berbasis Kearifan Lokal. 229.
[19] Ibid., 230.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar di bawah ini :