Analisis
Hadis Salat Idul Fitri Tanggal 2 Syawal.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ
النَّاسُ˓
وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّى النَّاسُ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.
Dari Aisyah r.a.,
beliau berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Hari raya Idul Fit}ri adalah hari
orang berbuka dan hari raya Idul Ad}ha> adalah hari orang berkurban.”
(Diriwayatkan oleh al-Tirmiz{i).
Makna Hadis
Jika
seseorang melihat anak bulan (hilal) pada malam hari raya, maka wajib baginya
mengamalkan apa yang dia yakini dalam dirinya tanpa perlu mengira, apakah nanti
ada hakim yang bakal menerima kesaksiannya ataupun tidak. Dalam masalah salat
hari raya, berbuka dan berqurban, dia wajib mengikut keputusan yang telah dibuat
oleh lembaga kehakiman, dalam hal ini sebagai wakil dari pemerintah adalah
Kementerian Agama (Kemenag) karena dikhawatirkan menimbulkan kekacauan. Inilah
kefahaman yang terdapat di dalam hadis ini. Adapun sanggahan Ibn Abbas r.a
terhadap kesaksian seseorang yaitu Kuraib yang telah menyaksikan penduduk
negeri Syam telah berpuasa pada hari Jumat, melalui perkataannya: “Sesungguhnya
kami melihat anak bulan pada malam Sabtu,” maka ini memuat dua tafsiran. Pertama,
barangkali Ibn Abbas r.a ingin menyatakan adanya perbedaan waktu kemunculan
anak bulan antara negeri Syam dengan negeri Hijaz. Inilah landasan yang betul. Kedua,
barangkali pula Ibn Abbas r.a menolak kesaksian satu orang karena beliau
mensyaratkan adanya sejumlah saksi dalam masalah ini. Apapun di dalam hadis
tersebut tidak didapati bukti yang menunjukkan bahwa Ibn ‘Abbas r.a. menyuruh
Kuraib mengamalkan apa yang ada dalam dengan keyakinan dirinya.
Analisis Lafaz}
“العِيْدَيْنِ ”, bentuk tasniyah dari lafaz} “عِيْدٌ”, diambil dari kata “العِوْدُ”. Kemudian huruf waw diganti dengan huruf ya’, lalu harakat ‘ain diganti menjadi kasrah supaya munasabah (kesesusaian) dengan huruf ya’ yang jatuh sesudahnya, hingga jadilah “العِيْدُ ”. Menurut tata bahasa, seharusnya bentuk jamak kalimat ini adalah “أعواد”, tetapi dijamakkan dalam bentuk “أعياد ” untuk membedakan lafaz} ini dengan lafaz} “أعواد ” yang merupakan bentuk jamak dari lafaz} “عود” yang bermaksud “kayu”. Menurut pakar bahasa, itu lantaran kekalnya huruf ya’ dalam bentuk mufrad atau tunggal.
Menggunakan
kata “عيد” (hari raya) karena ia kembali berulang
dalam setiap tahun, rahmat serta kebaikan Allah berlimpah pada hari itu,
terlebih lagi yang berkaitan dengan pengampunan dosa. Kedua hari raya yang dimaksudkan
di sini adalah hari raya Idul Fit}ri
dan hari raya Idul Ad}ha.
Waktu mengerjakan salat hari raya Idul Fit}ri ialah ketika matahari berada pada
ketinggian dua penggal (setinggi dua tombak), sedangkan waktu mengerjakan salat
hari raya Idul Ad}ha
ialah ketika matahari berada pada ketinggian sepenggal (setinggi satu tombak). Inilah menurut pendapat jumhur ulama.
Hikmah yang terdapat dalam salat hari raya Idul Ad}ha
ialah disunahkan menahan diri untuk tidak makan sebelum selesai salat dan sesudahnya barulah seseorang dibolehkan makan sebagian daripada hewan kurbannya. Jika salat tidak segera dikerjakan, maka ini bakal mengganggu mereka yang melakukannya sebab terlampau lama mereka menahan diri untuk tidak makan. Sedangkan dalam salat hari raya Idul Fit}ri disunahkan
mengakhirkan salat, karena dengan mengakhirkan salat terdapat waktu luang yang memadai untuk melaksanakan zakat Fit}rah,
sebelumnya pandangan inilah yang lebih diutamakan.
Menurut maz}hab Maliki, salat dua hari
raya dilakukan apabila matahari telah tinggi sepenggal tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Hukum mengerjakan salat hari raya adalah sunnah mu’akkad menurut jumhur ulama dan fardu kifayah bagi lelaki menurut ulama maz}hab Hambali.
“اَلْفِطْرُ
يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ” hari
raya Idul Fit}ri adalah hari raya berbuka bersama dengan banyak orang.
“يَوْمَ يُضَحِّى النَّاسُ” hari ketika orang ramai menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Fiqh Hadi>s}
Apa yang mesti dijadikan pedoman dalam menetapkan hari raya ialah
mengikuti orang banyak. Seseorang yang dapat melihat atau merukyah hilal, maka
hari raya tetap diwajibkan menyesuaikan dirinya dengan khalayak ramai secara
hukum dalam mengerjakan salat hari raya, berbuka dan melakukan kurban. Jumhur
ulama mengatakan bahwa barang siapa yang melihat anak bulan (hilal) Syawal,
namun kesaksiannya tidak dapat diterima oleh majelis hakim, maka dia tidak
boleh berbuka.
Imam al-Syafi’i berkata: “Dia boleh berbuka kecuali jika dikhawatirkan
dituduh dengan tuduhan yang buruk. Dalam keadaan ini hendaklah dia menahan diri
daripada makan dan minum, tetapi dengan meyakini bahwa dirinya berada dalam
hari raya.”
Mayoritas
ulama bersepakat bahwa barang siapa yang melihat anak bulan (hilal) puasa,
walaupun kesaksiannya tidak dapat diterima oleh majelis hakim, maka dia tetap
diwajibkan puasa sendirian.”
عَنْ أَبِيْ عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنْ عَمُوْمَةٍ لَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّ رَكْبًا جَاءُوْا˓
فَشَهِدُوْا أَّنَّهُمْ رَأَوُ الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ˓
فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوْا˓
وَإِذَا أَصْبَحُوْا يَغْدُوْا إِلَى مُصَلَّاهُمْ˓
رَوَاهُ أَحْمَدُ وَاَبُوْ دَاوُدَ – وَهَذَا لَفْظُهُ – وَإِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ.
Dari Abu ‘Umair ibn Anas ibn Malik r.a. dari salah seorang bapak saudaranya yang juga dikategorikan sebagai sahabat bahwa serombongan kafilah datang, lalu mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat anak bulan pada hari sebelumnya. Mendengar itu, Nabi Saw. menyuruh berbuka dan pada keesokan harinya mereka diperintahkan keluar menuju ke tempat salat (untuk mengerjakan salat hari raya). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadis ini menurut riwayat Abu Dawud, dan sanadnya berkedudukan sahih).
Makna Hadi>s{
Jika waktu hari raya telah diketahui sebelum waktu salatnya
habis, maka salat hari raya hendaklah segera dikerjakan pada hari itu. Namun
jika hari raya masih belum diketahui melainkan sesudah waktu salatnya habis,
maka salat hari raya hendaklah dilakukan pada hari berikutnya dan dianggap
sebagai salat qada>’. Hadis yang menerangkan hukum ini berkaitan hari raya Idul Fit}ri, kemudian dikiaskan kepadanya hari raya Idul Ad}ha>
Analisis Lafaz
“عَمُوْمَةٍ
لَهُ”, lafaz ‘umuumah merupakan
bentuk jamak dari lafaz} “عم” yang bermaksud saudaranya bapak (paman). Pamannya Abu Umair
adalah sahabat dan oleh karenanya, ini tidak menimbulkan cacat hadis meskipun nama dan identitas mereka tidak
diketahui dengan berlandaskan kepada satu kaidah bahwa setiap sahabat adalah adil. "رَكْبًا",
serombongan kafilah dalam perjalanan pulang setelah melakukan usaha perniagaan yang berada di luar kota Madinah.
“رَأَوُ
الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ”, mereka telah
melihat anak bulan Syawal, sedangkan penduduk Madinah tidak melihatnya, kerana ketika itu cuaca Madinah dipenuhi awan hingga pada waktu pagi hari itu mereka tetap
berpuasa.
"فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوْا" Nabi Saw. menyuruh mereka berbuka, kerana hari itu merupakan hari raya sesuai dengan kesaksian beberapa saksi. "وَإِذَا
أَصْبَحُوْا يَغْدُوْا إِلَى مُصَلَّاهُمْ" dan pada keesokan harinya mereka diperintahkan keluar menuju tempat salat untuk mengerjakan salat hari raya.
Fiqh Hadis
Jika waktu salat hari raya telah berlalu pada hari pertama, maka
solat hari raya hendaklah dilaksanakan pada hari kedua bulan Syawal sebelum matahari tergelincir. Inilah pendapat maz}hab Hambali dan maz}hab Hanafi. Mereka mengatakan pula bahwa tidak ada perbedaan antara terlewat lantaran keliru atau wujudnya faktor lain yang dikategorikan sebagai uz}ur.
Menurut pendapat yang sahih dalam maz}hab
al-Syafi’i, salat mestilah diqadha’ dalam waktu yang tidak perlu diberi batasan, karena disunnahkan mengqadha’ salat sunah yang dilakukan pada waktu tertentu apabila waktunya telah berlalu. Imam Malik berkata: “Jika mereka mengetahui hari raya sebelum matahari tergelincir, maka solat hari raya mestilah segera dikerjakan. Jika matahari
telah tergelincir, maka solat hari raya tidak perlu lagi dikerjakan, sama ada pada
hari itu ataupun pada hari berikutnya karena salat hari raya itu merupakan suatu
amal ibadah yang mesti dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, ia tidak boleh dikerjakan pada waktu lain selain daripada waktu yang telah ditetapkan.”
Rowi Hadis
Abu Umair ibn Anas ibn Malik, nama aslinya ialah Abdullah ibn
Anas ibn Malik. Beliau meriwayatkan hadis daripada pamannya dan telah diambil riwayatnya oleh Abu Bisyr yang nama asalnya adalah Ja’far ibn Iyas.
Jika merujuk pada keterangan hadis di atas dengan permasalahan penentuan
awal Syawal dalam konteks kekinian dan kedisinian, kasusnya tidak sama dengan
kasus di masa beliau Saw. Sebagian masyarakat Indonesiaa lebih memilih
mengikuti fatwa sebagian kalangan yang merujuk pada organisasi masarakat yang
notaben background-nya agama untuk berlebaran, misalnya jatuh pada hari
Jumat bukan hari Sabtu, sebagaimana kesepakatan mayoritas muslim dan keputusan
Menteri Agama. Namun berbeda dengan keyakinan mereka, justru secara sadar,
sengaja, dan direncanakan sejak jauh-jauh hari untuk melaksanakan shalat Idul Fit}ri pada tanggal 2 Syawwal.
Sholat Idul Fit}ri bisa juga ditunaikan
tanggal 2 Syawal bila terjadi perbedaan pendapat tentang awal syawal yang
sering terjadi di Indonesia. Bila kita meyakini bahwa sholat Idul Fit}ri misalnya jatuh hari Ahad, sementara tidak ada yang melaksanakan
pada hari Ahad di daerah tempat tinggal kita, maka salat bisa kita tunaikan
pada hari Senin. Atau demi kebersamaan dan menjaga persatuan, bisa saja kita
melaksanakan pada hari Senin. Dengan menggunakan pendekatan maslahah.
Referensi utama:
Alawi Abbas
al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri, Ibanah Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-
Maram Jilid Kedua, (Kuala Lumpur : Hidayah Publiction, 2010), terj.
oleh Nor Hasanuddin H.M. Fauzi, cet. 1, h. 81-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar di bawah ini :