Ikhtiyar Kiai Kepada Santri di Akhir Zaman
Oleh : Alaik Ridhallah
Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Jurusan Ilmu Falak.
Libur panjang ulangan akhir semester
gasal sekaligus akhir tahun tahun 2016 pun telah usai, kini para para peserta
didik dan para pendidik disibukkan kembali dalam kegiatan menuntut ilmu (tholabul
ilmi) di lingkungan sekolah, madrasah maupun pondok pesantren. Di awal
tahun baru 2017, menurut kalender pendidikan merupakan tahun ajaran semester
genap, diharapkan para peserta didik selalu bersemangat dalam menuntut ilmu
supaya memperoleh ilmu yang manfaat. Begitu pula para pendidik diharapkan
makin berusaha sekuat tenaga tanpa
pamrih untuk selalu membimbing para peserta didiknya, apalagi di era modern
saat ini.
Berubahnya era tradisional bertransformatif ke era modern ini memengaruhi beberapa aspek,
baik itu dalam dunia teknologi yang semakin canggih, ekonomi yang semakin mengglobal,
sosial, budaya, pendidikan dan tidak ketinggalan pula pondok pesantren (ponpes) juga banyak yang ikut merubah sistem
pengajarannya, meskipun tidak meninggalkan ciri khas kurikulum salaf
(terdahulu) dengan menggunakan kitab
kuning.
Sekarang coba kita menyoroti dunia pendidikan, khususnya di ponpes, peran Kiai, Ustaz dan Santri sangat
berkesinambungan satu sama lain. Dahulunya kiai tiap tengah malam melakukan ritual amalan-amalan
agama seperti salat tahajud, witir, dan lain-lain untuk mendoakan santri atau
para peserta didiknya. Tidak jarang juga biasanya sang Kiai memberikan wejangan
atau ijazah kepada santri untuk melakukan sesuatu supaya cita-cita atau yang
diinginkan santri tercapai, seperti berpuasa beberapa tahun atau yang sering
kita ketahui dengan dalail, mengamalkan aurad (wiridan-wiridan)
yang harus dibaca secara kontinyu jangan sampai ditinggalkan, biasanya dibaca
setelah salat fardu dan masih banyak lagi. Karena setiap ponpes biasanya sang Kiai
memberikan ijazah yang berbeda-beda.
Pada zaman modern ini, apakah hal semacam itu masih relevan pada saat ini.
Atau ada hal baru yang akan akan memadukannya ? Sehingga akan sesuai dengan
konteks kekinian dan kedisinian. Namun, di zaman akhir ini yang perlu dahulu
dilakukan Ustaz atau Kiai dan santri diharuskan sedikit dimodifikasinya,
meskipun tidak dipungkiri tetap mempertahankan cara-cara yang dilakukan Kiai-kiai
terdahulu yang telah mengajarkannya kepada kita.
Berikut ini adalah cara yang bisa dilakukan seorang pengajar atau pendidik
dalam konteks sekarang. Cara ini hanya sedikit memodifikasi yang sudah ada
dalam kitab-kitab adab al-ilm atau yang sering diajarkan di pondok
pesantren yakni kitab Ta’limul Muta’allim dan kitab adab atau yang
menerangkan akhlak lainnya.
Pertama,
yang perlu dilakukan santri maupun Ustaz atau kiai ialah melakukan hal-hal
kebaikan dengan cara mengedepankan al-akhlak al-karimah atau sopan
santun budi luhur, menjaga moral, melakukan kebaikan menurut mayoritas orang
banyak yang ada dalam lingkungannya bersosial. Dengan selalu mengedepankan
kebaikan, kesopanan dalam berlaku dan kesantunan dala bertutur kata maka akan melahirkan amal sholih atau
kebaikan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal ini sering dilupakan,
bahwasannya ada maqolah arab sering diucapkan di waktu kecil yaitu
bahwasannya manusia bisa menjadi mulya itu dikarenakan dua perkara, karena ilmu
dan adab atau akhlak. Keduanya harus selalu digendengkan, karena saling
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
Kedua, Riyadhoh yaitu menjalankan suatu amalan baik yang dilakukan secara
terus menerus, bisa dalam bentuk amalan-malan yang bersifat ucapan maupun
tindakan. Ini hal yang harus dijalankan dalam seluruh struktural dunia
pendidikan. Nantinya amal tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri bahkan
menjalar ke keluarganya dan juga para peserta didiknya. Namun hal tersebut harus dilakukan sesuai konteks
zamannya. Contoh, seorang kiai atau Ustaz yang rajin menjalankan puasa, berdzikir
dan salat duha, maka sebagian yang dilakukan itu bisa dapat diniatkan untuk
para santri maupun peserta didiknya. Ustaz atau Kiai yang sudah mampu bahkan
lebih dalam hartanya bisa berikhtiyar
dengan cara beramal ikut mensejahterakan sekolah, madrasah dan ponpes.
Sekarang ini
seyogyanga santri atau peserta didik janganlah dikasih riyadhoh yang
berat-berat, seperti puasa sunnah yang harus dilakukan bertahun-tahun, kenyataannya menjadikan lemas dan digunakan
untuk bermalas-malasan. Namun yang harus dilakukannya adalah berikhtiyar dengan
cara selalu bersemangat dalam belajar dan beribadah yang tekun, bermusyawarah
bersama ustaz atau kiai, santri atau peserta didik lainnya dan juga menulis
kembali apa hasil musyawarah tadi.
Ketiga, upayakan santri dan ustaz maupun kiai saat kegiatan
belajar mengajar (KBM) selalu dalam keadaan suci dengan cara berwudhu, karena
dapat menenangkan pikiran dan hati. Hal ini seharusnya dilakukan karena dalam
kegiatan KBM tersebut terjadi transfer ilmu, di mana ilmu bersumber dari hati
kemudian ditransfer ke hati (min al-qolb ila al-qolb). Maka saat berpikir dan
hatinya harus dalam keadaan bersih dari
penyakit, seperti hasud, tamak, dengki dan lain-lain. Jangan sampai hanya masuk
lewat kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri, atau istilah orang Jawa
menyebutnya dengan bungentuwo.
Keempat, sang kiai atau ustaz dipersilakan seyogyanya saat
mengajar membawa buku atau kitab terdahulu yang pernah dipelajari. Meskipun
sang ustaz maupun kiai tersebut sudah meguasai ilmu yang akan diajarkan
tersebut. Ini menandakan ilmu itu bermanfaat sekaligus barokah
(bertambah kebaikan) kalau buku yang dipelajarinya itu pernah digunakan
saat masih menjadi santri dan ilmu tersebut didapatnya dari pendahulu.
Kelima, selalu doakan para santri atau peserta didik
dengan doa yang baik-baik. Ini jangan sampai ditinggalkan oleh para Ustaz dan
kiai terlebih ketika setelah melakukan salat. Karena kekuatan doa merupakan hal
yang luar biasa dan sesuai perintah Allah dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Demikianlah, bukan
bermaqsud untuk menggurui atau atau orang Jawa biasanya menyebut dengan keminter.
Namun ini hanya sebagai pengingat untuk menggugah para ustaz, kiai maupun
pendidik untuk berusaha selalu mendidik anak didiknya sesuai konteks zaman
kekinian dan kedisisinian. Dahulu dalam kelas yang belum bisa baca kitab kuning
hanya satu atau dua orang, kini insyaallah dapat digalakkan kembali. Sekian,
terimakasih.
Joss. Tapi sedikit rada bingung, dari karya sendiri sama yang copas sangat ketara mas. Wkwkwk
BalasHapus