Selasa, 24 Januari 2017

Ikhtiyar Kiai Kepada Santri di Akhir Zaman

Ikhtiyar Kiai Kepada Santri di Akhir Zaman
Oleh : Alaik Ridhallah
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas  Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Jurusan Ilmu Falak.
Libur panjang  ulangan akhir semester gasal sekaligus akhir tahun tahun 2016 pun telah usai, kini para para peserta didik dan para pendidik disibukkan kembali dalam kegiatan menuntut ilmu (tholabul ilmi) di lingkungan sekolah, madrasah maupun pondok pesantren. Di awal tahun baru 2017, menurut kalender pendidikan merupakan tahun ajaran semester genap, diharapkan para peserta didik selalu bersemangat dalam menuntut ilmu supaya memperoleh ilmu yang manfaat. Begitu pula para pendidik diharapkan makin  berusaha sekuat tenaga tanpa pamrih untuk selalu membimbing para peserta didiknya, apalagi di era modern saat ini.
Berubahnya era tradisional bertransformatif  ke era modern ini memengaruhi beberapa aspek, baik itu dalam dunia teknologi yang semakin canggih, ekonomi yang semakin mengglobal, sosial, budaya, pendidikan dan tidak ketinggalan pula pondok  pesantren (ponpes)  juga banyak yang ikut merubah sistem pengajarannya, meskipun tidak meninggalkan ciri khas kurikulum salaf (terdahulu)  dengan menggunakan kitab kuning.
Sekarang coba kita menyoroti dunia pendidikan,  khususnya di ponpes,  peran Kiai, Ustaz dan Santri sangat berkesinambungan satu sama lain. Dahulunya kiai  tiap tengah malam melakukan ritual amalan-amalan agama seperti salat tahajud, witir, dan lain-lain untuk mendoakan santri atau para peserta didiknya. Tidak jarang juga biasanya sang Kiai memberikan wejangan atau ijazah kepada santri untuk melakukan sesuatu supaya cita-cita atau yang diinginkan santri tercapai, seperti berpuasa beberapa tahun atau yang sering kita ketahui dengan dalail, mengamalkan aurad (wiridan-wiridan) yang harus dibaca secara kontinyu jangan sampai ditinggalkan, biasanya dibaca setelah salat fardu dan masih banyak lagi. Karena setiap ponpes biasanya sang Kiai memberikan ijazah yang berbeda-beda.
Pada zaman modern ini, apakah hal semacam itu masih relevan pada saat ini. Atau ada hal baru yang akan akan memadukannya ? Sehingga akan sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Namun, di zaman akhir ini yang perlu dahulu dilakukan Ustaz atau Kiai dan santri diharuskan sedikit dimodifikasinya, meskipun tidak dipungkiri tetap mempertahankan cara-cara yang dilakukan Kiai-kiai terdahulu yang telah mengajarkannya kepada kita.
Berikut ini adalah cara yang bisa dilakukan seorang pengajar atau pendidik dalam konteks sekarang. Cara ini hanya sedikit memodifikasi yang sudah ada dalam kitab-kitab adab al-ilm atau yang sering diajarkan di pondok pesantren yakni kitab Ta’limul Muta’allim dan kitab adab atau yang menerangkan akhlak lainnya.
Pertama, yang perlu dilakukan santri maupun Ustaz atau kiai ialah melakukan hal-hal kebaikan dengan cara mengedepankan al-akhlak al-karimah atau sopan santun budi luhur, menjaga moral, melakukan kebaikan menurut mayoritas orang banyak yang ada dalam lingkungannya bersosial. Dengan selalu mengedepankan kebaikan, kesopanan dalam berlaku dan kesantunan dala bertutur kata  maka akan melahirkan amal sholih atau kebaikan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal ini sering dilupakan, bahwasannya ada maqolah arab sering diucapkan di waktu kecil yaitu bahwasannya manusia bisa menjadi mulya itu dikarenakan dua perkara, karena ilmu dan adab atau akhlak. Keduanya harus selalu digendengkan, karena saling keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
Kedua, Riyadhoh yaitu menjalankan suatu amalan baik yang dilakukan secara terus menerus, bisa dalam bentuk amalan-malan yang bersifat ucapan maupun tindakan. Ini hal yang harus dijalankan dalam seluruh struktural dunia pendidikan. Nantinya amal tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri bahkan menjalar ke keluarganya dan juga para peserta didiknya. Namun  hal tersebut harus dilakukan sesuai konteks zamannya. Contoh, seorang kiai atau Ustaz yang rajin menjalankan puasa, berdzikir dan salat duha, maka sebagian yang dilakukan itu bisa dapat diniatkan untuk para santri maupun peserta didiknya. Ustaz atau Kiai yang sudah mampu bahkan lebih dalam hartanya bisa berikhtiyar  dengan cara beramal ikut mensejahterakan sekolah, madrasah dan ponpes.
Sekarang ini seyogyanga santri atau peserta didik janganlah dikasih riyadhoh yang berat-berat, seperti puasa sunnah yang harus dilakukan bertahun-tahun,  kenyataannya menjadikan lemas dan digunakan untuk bermalas-malasan. Namun yang harus dilakukannya adalah berikhtiyar dengan cara selalu bersemangat dalam belajar dan beribadah yang tekun, bermusyawarah bersama ustaz atau kiai, santri atau peserta didik lainnya dan juga menulis kembali apa hasil musyawarah tadi.

Ketiga, upayakan santri dan ustaz maupun kiai saat kegiatan belajar mengajar (KBM) selalu dalam keadaan suci dengan cara berwudhu, karena dapat menenangkan pikiran dan hati. Hal ini seharusnya dilakukan karena dalam kegiatan KBM tersebut terjadi transfer ilmu, di mana ilmu bersumber dari hati kemudian ditransfer ke hati (min al-qolb ila al-qolb). Maka saat berpikir dan hatinya harus dalam  keadaan bersih dari penyakit, seperti hasud, tamak, dengki dan lain-lain. Jangan sampai hanya masuk lewat kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri, atau istilah orang Jawa menyebutnya dengan bungentuwo.

Keempat, sang kiai atau ustaz dipersilakan seyogyanya saat mengajar membawa buku atau kitab terdahulu yang pernah dipelajari. Meskipun sang ustaz maupun kiai tersebut sudah meguasai ilmu yang akan diajarkan tersebut. Ini menandakan ilmu itu bermanfaat sekaligus barokah (bertambah kebaikan) kalau buku yang dipelajarinya itu pernah digunakan saat masih menjadi santri dan ilmu tersebut didapatnya dari pendahulu.

Kelima, selalu doakan para santri atau peserta didik dengan doa yang baik-baik. Ini jangan sampai ditinggalkan oleh para Ustaz dan kiai terlebih ketika setelah melakukan salat. Karena kekuatan doa merupakan hal yang luar biasa dan sesuai perintah Allah dalam Al-Qur’an itu sendiri.


Demikianlah, bukan bermaqsud untuk menggurui atau atau orang Jawa biasanya menyebut dengan keminter. Namun ini hanya sebagai pengingat untuk menggugah para ustaz, kiai maupun pendidik untuk berusaha selalu mendidik anak didiknya sesuai konteks zaman kekinian dan kedisisinian. Dahulu dalam kelas yang belum bisa baca kitab kuning hanya satu atau dua orang, kini insyaallah dapat digalakkan kembali. Sekian, terimakasih.

1 komentar:

  1. Joss. Tapi sedikit rada bingung, dari karya sendiri sama yang copas sangat ketara mas. Wkwkwk

    BalasHapus

Silakan Komentar di bawah ini :

Universalitas Nilai Islam Pada Generasi Millenial Era Digital

       sumber gambar : republika.co.id.          Kajian mengenai sejarah peradaban Islam telah melalui dan mengalami beberapa periode, pada...