Persoalan Pelaksanaan Ibadah Salat dan
Puasa di Daerah Kutub
Alaik Ridhallah
Universitas Islam Negeri Walisongo
A. Pendahuluan
Puasa
dan Salat merupakan ibadah yang sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu hingga
kini. Pelaksanannya tidak lepas dari ruang dan waktu. selama ini dalil-dalil
nash Al-Qur’an dan Hadis sesuai diterapkan di daerah yang siang dan malamnya
hampir sama (daerah di sekitar garis Khatulistiwa), variasi antara 13-14 jam. Berawal
hal itu, muncul beberapa problem yang menjadi perdebatan dan menjadi pertanyaan
oleh kebanyak orang Islam, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan puasa di daerah
yang lokasinya jauh dari garis khatulistiwa. Untuk daerah yang berada di
lintang tinggi (dekat kutub), perbedaan waktu siang dan malam jadi mencolok.
Saat musim panas siang hari paling panjang dan malam paling pendek, begitu pula
yang terjadi sebaliknya pada waktu musim dingin. Bahkan siang bisa mencapai 20
jam. Panjang hari mempengaruhi lamanya waktu menjalankan puasa. Atau bahkan
tidak muncul Matahari selama berbulan-bulan.
Sehingga
sangat menarik untuk ditindaklanjuti dalam bentuk tulisan yang membahas
bagiamana tata cara dan bagimana pula pandangan para ulama fikih dan ilmuan
astronomi dalam menyikapi hal demikian.
B.
Dalil Nash Waktu
Salat dan Puasa
- Nash Qur’an tentang waktu Salat
Surat an-Nisa ayat 103:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orangorang yang beriman”.
Prof. Muhammad Quraish Syihab menjelaskan
bahwa, kata (كتابا
موقوتا) dalam surat an-Nisa ayat 103 diartikan sebagai
salat merupakan kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan
tidak pernah gugur oleh sebab apapun.[1]
Surah al-Isra ayat 78 :
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ
الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ
كَانَ مَشْهُودًا
Artinya: “dirikanlah shalat dari sesudah Matahari
tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.24
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Dalam Tafsir al-Ahkam dijelaskan bahwa semua
mufasir telah sepakat, bahwa ayat ini
menerangkan Salat yang lima. Dalam menafsirkan
(لدلوك الشمس) terdapat dua
perkataan. Pertama, tergelincir atau condongnya Matahari dari tengah
langit. Berkata Farra’, دلوك itu berarti mulai dari condong Matahari sampai
terbenam. Berdasarkan keterangan ini maka ayat ini berarti kerjakan salat Zuhur
dan Asar mulai dari condong Matahari sampai terbenam.[2] Kata دلوك itu berarti mulai dari
condong Matahari sampai terbenam. Berdasarkan keterangan ini maka ayat ini
berarti kerjakan salat Zuhur dan Asar mulai dari condong Matahari sampai
terbenam.
Selanjutnya kalimat إلى غسق اليل ialah salat
malam, yaitu Salat Isya.
Kata قرأن الفجر
ialah Salat Subuh. Dengan kalimat غسق اليل jelas bahwa waktu salat itu ialah sampai
terbenamnya Matahari.
- Nash Hadis tentang waktu Salat
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي
أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ
الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ
تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ
وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ
الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ
الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ
شَيْطَانٍ[3]
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ibrahim Ad Duraqi telah
menceritakan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami Hammam
telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Ayyub dari Abdullah bin 'Amru
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Waktu shalat
Dzuhur adalah jika matahari telah concong dan bayangan sesorang seperti
panjangnya selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama
matahari belum menguning, dan waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq)
belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat
Subuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit,
maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit diantara dua tanduk
setan."
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ الْأَزْدِيُّ
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَزِينٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
يَعْنِي ابْنَ طَهْمَانَ عَنْ الْحَجَّاجِ وَهُوَ ابْنُ حَجَّاجٍ عَنْ قَتَادَةَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ فَقَالَ وَقْتُ صَلَاة الْفَجْرِ مَا لَمْ
يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ
الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ صَلَاةِ
الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ وَوَقْتُ
صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطْ الشَّفَقُ
وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ[4]
Dan telah
menceritakan kepadaku Ahmad bin Yusuf Al Azadi telah menceritakan kepada kami
Umar bin Abdullah bin Razin telah menceritakan kepada kami Ibrahim yaitu Ibnu
Thahman dari Al Hajjaj yaitu Ibnu Hajjaj dari Qatadah dari Abu Ayyub dari
Abdullah bin 'Amru bin 'Ash bahwa ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah ditanya tentang waktu shalat, beliau lalu bersabda: "Waktu
shalat fajar (subuh) sebelum tanduk setan pertama muncul, dan waktu shalat
Dzuhur jika matahari telah miring dari permukaan langit, selama belum tiba
waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan
tanduk pertamanya menghilang, dan waktu shalat Maghrib jika matahari menghilang
selama mega merah (syafaq) menghilang, dan waktu shalat isya' hingga
pertengahan malam."
- Nash
Qur’an tentang waktu Puasa
Puasa pada bulan Ramadan termasuk salah satu dari lima
rukun Islam. Dalam
bahasa Arab, puasa disebut shaum (صوم)
yang pokok artinya berarti: menahan
atau berhenti dari sesuatu.[5] Arti
puasa dalam
bahasa Arab disebut shiyam atau shaum secara
bahasa berarti menahan
diri (berpantang) dari suatu perbuatan.[6]
Kata Al-shiyaam
merupakan berasal dari hikayah Sayyidah Maryam
r.a. yang termaktub dalam Al Qur‟an Surat Maryam ayat 26[7] :
Artinya
:“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka Katakanlah:
"Sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
pun pada hari ini".(QS. Maryam :26).[8]
Puasa yang dimaksud dalam ayat ini adalah diam, tidak berbicara
atau disebut shaama’anil kalaam artinya menahan diri dari berbicara.
Orangorang Arab mengatakan shaama an-nahaaru (siang sedang berpuasa)
apabila gerak bayang-bayang benda yang terkena sinar Matahari berhenti pada
waktu tengah hari.[9]
Jelasnya, shaum adalah menghentikan perbuatan
berupa syahwat perut dan
faraj dari segala hal yang masuk kedalam perut baik berupa obat atau lainnya pada waktu tertentu. Yakni, dari sejak terbit
fajar kedua (shadiq) sampai
Matahari terbenam, yang dilakukan oleh orang tertentu yang mampu, yaitu seorang muslim, berakal, tidak dalam haid atau
nifas dengan niat bulat tanpa
ragu-ragu melaksanakannya sehingga dapat dibedakan antara ibadah dengan kebiasaan.[10]
Al-Baqarah (2):187 :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ
نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاس لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari
bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa”
Istilah benang merupakan kata kiasan, yang maksudnya
adalah hingga hari kelihatan terang, yaitu dengan terbitnya fajar. Ibnu Abdil
Bar mengomentari bahwa perkataan nabi Muhammad saw. “Sesungguhnya bila Bilal
berkumandang dimalam hari, makan minumlah kalian hingga Abdullah ibn Maktum
berkumandang” merupakan petunjuk bahwa benang putih itu waktu Subuh, sebab
berdasarkan ijma’, sahur itu dilaksanakan
sebelum fajar terbit[11].
Jumhur ulama telah bersepakat bahwa berakhirnya waktu sahur dan dimulainya
puasa selama sehari adalah ketika masuk waktu salat Subuh yang ditandai dengan
terbitnya fajar yang sebenarnya atau fajar shadiq[12]
Al-Baqarah(2):185
:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur”
firman
Allah ” فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ”. Maksudnya orang yang hadir dan
telah tahu bahwa bulan Ramadan itu telah masuk hendaklah dia berpuasa. Diayat
ini ditegaskan bulan dengan kata syahr, yaitu hitungan masuknya Ramadan. Bukan
dengan kata hilal atau kamar. Sayangnya dalam bahasa Indonesia bulan yang
kelihatan itu kita namai bulan juga, padahal dalam bahasa Arab disebut hilal
(bulan sabit) atau kamar. Sedangkan hitungan sebulan dinamai bulan juga,
padahal dalam bahasa Arab hitungan sebulan itu disebut syahr,[13]
- Nash Hadis tentang waktu Puasa
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ
الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ) وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ
لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ (قَالَ كَانَ الرَّجُلُ يَأْخُذُ خَيْطًا أَبْيَضَ
وَخَيْطًا أَسْوَدَ فَيَأْكُلُ حَتَّى يَسْتَبِينَهُمَا حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ
)مِنْ الْفَجْرِ (فَبَيَّنَ
ذَلِكَ[14]
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Umar Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman telah
menceritakan kepada kami Abu Hazim telah menceritakan kepada kami Sahl bin
Sa'dari ia berkata; Ketika turun ayat; "…dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…", ia berkata; Ada
seorang lelaki yang mengambil satu benang berwarna hitam dan satu benang lagi
berwarna putih, lalu ia makan (sahur) sampai keduanya terlihat jelas sehingga
Allah 'azza wajalla menurunkan ayat; "Yaitu fajar." Maka perkara itupun menjadi jelas baginya.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كُرَيْبٍ
وَابْنُ نُمَيْرٍ وَاتَّفَقُوا فِي اللَّفْظِ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ و قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي و قَالَ أَبُو كُرَيْبٍ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ جَمِيعًا عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتْ
الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
لَمْ يَذْكُرْ ابْنُ نُمَيْرٍ فَقَدْ[15]
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Abu Kuraib dan Ibnu
Numair -mereka semua sepakat mengenai lafazhnya- Yahya berkata, telah
mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah -sementara Ibnu Numair berkata- telah
menceritakan kepada kami bapakku -sementara Abu Kuraib berkata- telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah semuanya dari Hisyam bin Urwah dari
bapaknya dari Ashim bin Umar dari Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah
datang, siang telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang
berpuasa sungguh sudah boleh berbuka." Ibnu Numair tidak menyebutkan kata: "FAQAD (sungguh)."
- Waktu Ibadah Salat dan Puasa
1.
Waktu Zuhur
Waktu salat Zuhur dimulai ketika tergelincirnya Matahari dari
tengah langit (istiwa’) ke arah barat ditandai dengan terbentuknya bayangan
suatu benda, sesaat setelah posisi Matahari di tengah langit dan waktu zuhur
berakhir ketika masuk waktu asar. Yang
dimaksud langit bukanlah zenit, akan tetapi tengah-tengah langit diukur dari
ufuk timur dan barat.[16]
2.
Waktu Asar
Malikiyah berpendapat bahwa Asar memiliki dua waktu,
dharuri dan ikhtiyari. Waktu dharuri dimulai sejak sinar Matahari
yang terpantul di Bumi dan di dinding terlihat menguning dan bukan Mataharinya
sendiri yang menguning karena Matahari hanya terlihat menguning ketika
terbenam. Adapun waktu ikhtiyari dimulai sejak bayangan suatu benda lebih
panjang dari bendanya dan berakhir hingga Matahari menguning.[17]
Hambaliah berpendapat
bahwa waktu Asar dimulai saat berakhirnya waktu Zuhur, yaitu saat bayangan
benda sama dengan panjang bendanya selain bayangan saat istiwa. Waktu Asar
bersambungan langsung dengan waktu Zuhur tanda adanya waktu pemisah, dan waktu
Asar akan habis saat Matahari terbenam.[18]
Sedangkan Syafi’iyah berpendapat
bahwa waktu Asar dimulai saat bayangan suatu benda telah melebihi panjang benda
tersebut.[19]
Fuqaha’ telah sepakat bahwa akhir waktu Asar adalah sesaat sebelum terbenamnya
Matahari.
3.
Waktu Maghrib
Ulama mazhab
Malikiah sepakat bahwa waktu Magrib dimulai sejak terbenamnya Matahari,
Terbenam didefinisikan ketika seluruh piringan Matahari telah terbenam dan
tidak terlihat lagi, baik dari dataran rendah maupun pegunungan. Waktu Magrib berakhir ketika mega merah terbenam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i mempunyai dua
pendapat (qaul). Menurut qaul jadid, waktu Magrib keluar dengan perkiraan waktu
yang cukup untuk bersuci, menutup aurat, azan, iqamat dan salat dua rakaat.
Dalam perkara ini yang diperhitungkan adalah yang sedang dan sederhana. Qaul
qadim mengatakan bahwa waktu Magrib tidak keluar hingga terbenamnya mega merah.[20]
4.
Waktu Isya
Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-syafaq adalah warna merah di
langit. Kemudian terbenamnya warna merah itu jelas di kebanyakan tempat.
Sedangkan orang-orang yang bertempat tinggal di suatu tempat yang malamnya
pendek dan tidak melihat terbenamnya warna merah, maka hendaknya melaksanakan
salat Isya apabila diperkirakan telah berlalu waktu hilangnya warna merah di
langit di negeri terdekat.[21]
Menurut Hambaliah, Isya’ mempunyai dua waktu seperti Asar. (1) waktu
ikhtiyari dimulai sejak hilangnya mega hingga paruh ketiga dari awal malam; (2)
Waktu dharuri dimulai sejak paruh sepertiga kedua dari malam dan berakhir
dengan terbitnya fajar shadiq. Jadi, orang yang mendirikan salat pada waktu ini
berarti ia berdosa walaupun salatnya itu adalah salat ada’an. Adapun salat
Subuh, Zuhur, dan Maghrib menurut Hambaliah tidak mempunyai waktu dharuri.[22]
Malikiah berpendapat, waktu Isya’ ikhtiyari
dimulai sejak hilangnya mega merah dan berakhir dengan habisnya sepertiga malam
pertama. Adapun waktu Isya’ dharuri dimulai setelah waktu itu hingga terbit
fajar. Jadi, orang yang mendirikan salat Isya’ pada waktu dharuri tanpa
halangan berarti orang itu berdosa[23]
5.
Waktu Subuh
Waktu salat Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq, yaitu
seberkas cahaya yang mendahului cahaya Matahari. Terbit di timur secara meluas dan memenuhi horizon, lalu naik ke
langit-bulan fajar kadzib, yaitu seberkas cahaya yang tidak memancar
luas.Semburan dalam volume kecil dan memanjang menuju
langit. Kedua sisinya gelap sehingga mirip ekor serigala hitam yang bagian
dalam ekornya berwarna putih dan bagian luarnya berwarna putih.[24]
- Problem
dan Gambaran Umum Kondisi Alam Dekat Kutub
1.
Posisi Bumi - Matahari
Revolusi Bumi adalah peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Bumi
mengelilingi Matahari pada orbitnya sekali dalam waktu 365¼. Waktu 365¼ atau
satu tahun surya disebut kala revolusi bumi. Poros Bumi tidak tegak lurus
terhadap bidang ekliptika melainkan miring dengan arah yang sama membentuk
sudut 23,5º terhadap Matahari. Revolusi ini menimbulkan beberapa gejala alam
yang berlangsung secara berulang tiap tahun salah satu di antaranya adalah
perbedaan lama siang dan malam dan perubahan musim.[25] Indonesia
terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Berbeda
dengan wilayah berlintang tinggi (dekat
daerah dekat kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Daerah
dekat kutub merupakan daerah yang tidak pasti terkena sinar Matahari,
karena daerah tersebut lintasannya antara garis balik sampai ke dekat
kutub.[26]
Ketika Matahari berada di titik utara, yaitu
antara tanggal 21 Maret s.d 23 September belahan Bumi utara menerima
sinar Matahari lebih banyak daripada
belahan Bumi selatan. Panjang siang di belahan Bumi utara lebih lama
dari pada di belahan Bumi selatan, namun ketika Matahari berada di
titik
selatan, antara tanggal 23 September s.d 21 Maret wilayah di sekitar dekat
kutub selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam yang
relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar dekat kutub
selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di dekat kutub utara. Pada
bulan
Maret dan bulan September dekat kutub utara dan dekat kutub selatan berjarak
sama ke Matahari. Belahan Bumi utara dan belahan Bumi selatan menerima sinar
Matahari sama banyaknya. Panjang siang dan malam sama di seluruh belahan Bumi.[27]
Daerah di sekitar khatulistiwa[28] (23,5
LU – 23,5 LS) disebut daerah tropis, iklimnya disebut iklim tropis yaitu
memiliki dua musim dengan kelembapan
udara paling cocok untuk banyak jenis makhluk hidup. Wilayah
yang jauh dari garis khatulistiwa dan berdekatan dengan daerah dekat kutub memiliki musim lebih banyak.
yang jauh dari garis khatulistiwa dan berdekatan dengan daerah dekat kutub memiliki musim lebih banyak.
Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah dekat kutub), variasi
panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang haripaling
panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin.
Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Bumi yang dibagi oleh garis khatulistiwa, utara, dan
selatan. Pada posisi tersebut, bagian selatan
Bumi menerima sinar Matahari lebih banyak daripada bagian utara sehingga
bagian selatan mengalami musim panas atau musim kemarau untuk daerah
tropis.[29]
Sementara bagian utara mengalami musim dingin
atau musim hujan untuk daerah tropis. Kondisi ini akan berganti
setelah enam bulan, saat posisi Bumi di
sebelah kanan Matahari. Perhatikan juga dekat kutub utara dan selatan
bumi. Walau Bumi sudah berotasi penuh (24 jam), dekat kutub utara
tidak
akan menerima sinar Matahari sehingga selalu malam, sedangkan dekat
kutub
selatan menerima sinar Matahari terus sehingga selalu siang. Kondisi
ini akan
berlaku sampai enam bulan, saat posisi bumi di sebelah kanan Matahari.[30] Ini
merupakan penjelasan mengapa di daerah kutub pergantian siang dan malam adalah
sekali dalam enam bulan.
Ini juga menjelaskan bagaimana pada musim panas siang
hari lebih lama daripada malam hari (atau sebaliknya pada musim dingin). Lebih detail
lagi, pada tanggal 21 Juni bagian utara mengalami siang hari terpanjang (sebaliknya
bagian selatan siang hari terpendek); 21 Maret dan 23 September, Matahari tepat
berada di garis khatulistiwa sehingga lama siang hari benar-benar sama dengan
lama malam hari di semua wilayah Bumi; dan 21 Desember bagian utara mengalami
siang hari terpendek (sebaliknya bagian selatan siang hari terpanjang).[31] Keempat
hari itu adalah
terkait dengan empat musim yang ada di Bumi. Lihat gambar berikut :
terkait dengan empat musim yang ada di Bumi. Lihat gambar berikut :
Gambar Bola
langit terkait lintasan deklinasi Matahari[32]
Pancaran Matahari yang diterima oleh Bumi berubah
secara periodik melalui tiga zona yaitu tropic of cancer (daerah yang
dilalui garis lintang utara ±23,5°), equator (daerah yang dilalui garis lintang
0°), dan tropic of capricorn (daerah yang dilalui garis lintang selatan
±23,5°).[33]
Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang dilintasi oleh garis equator.
India, Saudi Arabia, dan Meksiko merupakan contoh negara yang dilewati oleh tropic
of cancer, sedangkan contoh daerah yang dilewati tropic of capricorn adalah
Afrika Selatan, Quensland (Australia) dan Argentina.
Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada
daerah tropic of cancer. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere seperti
Eropa dan Amerika akan mengalami musim panas (summer) sedangkan daerah
selatan hemisphere seperti Australia bagian tengah dan selatan mengalami
musim dingin (winter). Lamanya waktu siang di daerah utara lebih panjang
dibanding daerah selatan. Makin ke utara, waktu siang akan semakin panjang, puncaknya di kutub utara yang terang sepanjang hari sedangkan kutub selatan gelap sepanjang hari.[34]
dibanding daerah selatan. Makin ke utara, waktu siang akan semakin panjang, puncaknya di kutub utara yang terang sepanjang hari sedangkan kutub selatan gelap sepanjang hari.[34]
Gambar
Deklinasi Matahari[35]
Tanggal 23 September adalah waktu terjadinya Autumnal
equinox yaitu titik musim gugur.[36]
Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah equator. Pada
kondisi ini daerah utara hemisphere akan mengalami musim gugur (autumnal)
karena suhu lebih rendah dibanding periode sebelumnya akibat berkurangnya
pancaran sinar Matahari, sedang daerah selatan mengalami musim semi (spring).
Bagi mereka yang tinggal di Eropa, pada tanggal tertentu waktu akan diperlambat
satu jam (saving day light)[37]
menjadikan malam akan berangsur lebih lama dan akan mencapai puncak pada
periode selanjutnya, musim dingin (winter).
Pada tanggal 21/22 Desember, Winter solstice.
Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah tropic of
capricorn. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere akan mengalami
musim dingin (winter) sedangkan daerah selatan hemisphere mengalami
musim panas (summer). Lamanya waktu siang di daerah selatan lebih besar
dibanding daerah utara.[38] Makin
ke utara, waktu malam akan semakin lama, puncaknya di kutub utara yang gelap
sepanjang hari, sedangkan kutub selatan terang sepanjang hari.
Pada tanggal 21/22 Maret, spring equinox. Pancaran
sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah equator. Pada kondisi ini
daerah utara hemisphere akan mengalami musim semi (spring) karena
adanya kenaikan suhu dibanding periode sebelumnya, sedang daerah selatan hemisphere
mengalami musim gugur (autumn). Kebalikan dari Autumn equinox,
waktu akan dipercepat satu jam karena siang akan berangsurangsur menjadi lebih
lama dan akan maksimal pada musim panas
(summer).[39]
(summer).[39]
- Waktu
Salat dan Puasa di Daerah Kutub
Pada saat matahari berada di titik Utara, sekitar bulan Juli,
wilayah sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang singkat dan waktu
malam yang panjang. Namun ketika matahari berada di titik Selatan, wilayah di
sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam
yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar kutub Selatan ini
adalah kebalikan dari yang terjadi di kutub Utara. Dengan kata lain terdapat
kondisi yang menyebabkan tidak dapat/sulit ditentukannya waktu-waktu salat
tertentu. Gambaran kondisi tersebut sebagai berikut:[40]
1.
Jadwal Salat di Lintang 60o
pada musim panas senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan
Subuh). Terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan
cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit
memastikan kapan awal waktu Isya dan Subuh. Kondisi tidak normal: tidak ada
gelap malam.
2.
Jadwal Salat di Lintang 70° pada
musim panas, senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan
Subuh) seperti kondisi di Lintang 60o dan Matahari tak pernah
terbenam (tidak ada batasan waktu maghrib). Pada musim dingin matahari
selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu Zuhur, Asar, dan Magrib).
Thomas Djamaluddin menjelaskan, untuk daerah dengan lintang lebih dari 48 derajat pada
musim panas, senja dan fajar bersambung (continuous
twilight)[41]
No
|
Daerah
|
Lintang
|
Bujur
|
1
|
Brussel-Belgium
|
U 50o
51’
|
04o
21’T
|
2
|
London- United Kingdom
|
U 51o
30’
|
00o05’
B
|
3
|
Rotterdam-Netherand
|
U 51o
55’
|
04o
30’ T
|
4
|
GravanbageNetherland
|
U 52o 05’
|
04o
18’T
|
5
|
Amsterdam-
Netherland
|
U 52o
21’
|
04o
55’ T
|
6
|
Berlin-
Germany
|
U 52o
31’
|
13o
23’ T
|
7
|
Groningen- Netherland
|
U 53o
13’
|
06o 34’ T
|
8
|
Dublin-
Ireland
|
U 53o 21’
|
06o 15’ B
|
9
|
Hamburg-Germany
|
U 53o 33’
|
09o
58’ T
|
10
|
Liverpool-United
Kingdom
|
U 53o
33’
|
03o
00’ B
|
11
|
Moskow-Rusian
Federation
|
U 55o
45’
|
37o
36’ T
|
12
|
Edinburg-United Kingdom
|
U 55o
57’
|
03o 11’B
|
13
|
Schotlandia
|
U 56o 45’
|
04o
30’ B
|
14
|
Stockholm-Swedan
|
U 59o
20’
|
18o 00’
T
|
15
|
Magadan
|
U 59o
40’
|
151o
00’T
|
16
|
Oslo-Norwegia
|
U 59o
57’
|
10o
45’ T
|
17
|
Helsinki-Finlandia
|
U 60o
13’
|
24o
58’T
|
18
|
Leksand
|
U 60o
45’
|
15o
05’ T
|
19
|
Lahti
|
U 60o
55’
|
25o
45’T
|
20
|
Pori
|
U 61o
29’
|
21o
32’T
|
21
|
Sundsvall
|
U 62o
21’
|
17o
12’ T
|
22
|
Trondheim
|
U 63o
25’
|
10o
20’ T
|
23
|
Kayaami
|
U 64o
15’
|
27o
42’ T
|
24
|
Kemi
|
U 65o
45’
|
24o
50’ T
|
25
|
Haparanda
|
U 65o
49’
|
24o
00’ T
|
26
|
Kemiyarvi
|
U 66o
30’
|
25o
45’ T
|
27
|
Bedo
|
U 67o
16’
|
14o
22’ T
|
28
|
Kiruna
|
U 67o
50’
|
20o 20’
T
|
29
|
Kirkenes
|
U 69o
45’
|
30o
00’ T
|
30
|
Jan Mayen
|
U 70o
40’
|
08o
00’ B
|
31
|
Reykjavik-
Iceland
|
U 64o
05’
|
21o
50’ B
|
32
|
Punta
Arenas- Chile
|
S 53o
20’
|
71o 00
B
|
Lintang
lebih dari 48 derajat adalah batas untuk mengidentifikasi adanya waktu salat
yang digunakan Thomas Djamaluddin sebagai batas mengakhiri sahur pada waktu
Subuh dan berbuka pada waktu Magrib. Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak
terjadi selamanya. Adanya perbedaan panjang tahun kamariyah
(kalender Bulan) dan tahun syamsiah (kalender Matahari) menyebabkan awal Ramadan dan hari raya selalu bergeser sekitar 11 hari
lebih awal. Sehingga bila Ramadan jatuh pada sekitar bulan Maret dan September,
semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya puasa di daerah ekuator. Pada
sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam hampir sama di
seluruh dunia.[42]
1. Waktu Salat di Daerah Kutub
Ulama dan ahli astronomi saling berbeda pendapat
sehubungan dengan penetapan waktu salat dan puasa pada beberapa daerah yang dekat dengan daerah
kutub yang mengalami masa siang teramat panjang dan malam teramat singkat, atau
sebaliknya, bahkan keadaan di daerah kutub utara yang mengalami malam panjang
hingga berbulan-bulan lamanya, sementara di belahan bumi selatan mengalami
siang dalam tempo waktu yang sama pula.
a.
Majelis Fatwa al-Azhar
al-Syarîf mengemukakan bahwa pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang
dan malamnya, dilakukan dengan cara menyamakan waktunya dengan daerah di mana
batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur),
misalnya mengikuti Saudi Arabia (Makkah dan Madinah).
Fatwa ini didasarkan pada hadis
Nabi Saw, ketika menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban salat di
daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan
setahun. “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan daerah yang satu harinya
(sehari semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali
salat saja? Rasulullah menjawab “tidak” tapi perkirakanlah sebagaimana
kadarnya (hari-hari biasa)”. (HR. Muslim).[43]
b.
Mahmud Syaltout dalam
bukunya Fatawa, menjelaskan bahwa pendapat yang mengatakan tidak ada
salat dan puasa bagi orang yang tinggal di daerah kutub tidak cocok dengan nash
yang menetapkan wajibnya salat dan puasa. Karenanya, untuk melaksanakan
perintah agama itu tak ada alternatif lain selain memperkirakan hari, malam,
dan bulan di daerah kutub dengan waktu di negeri-negeri yang terdekat, yang
mempunyai waktu yang biasa.[44] Hal
tersebut dipertegas kembali oleh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu yang menyatakan bahwa daerah yang mengalami
perubahan waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu salatnya adalah
dengan mengikuti daerah normal terdekat.[45]
c.
Saadoe’ddin Djambek
Untuk penentuan waktu shalat di daerah kutub dapat diqiyaskan
dengan orang yang tertidur atau pingsan. Beliau mengeruaikan : “ Perubahan
syafak merah di langit bagian barat menjadi fajar di langit bagian Timur., berlaku
secara tiba-tiba, boleh di katakan tanpa suasana peralihan, jadi tanpa
disadari. Keadaannya boleh di umpakan seperti hal seorang, yang tertidur di
waktu maghrib lalu terbangun di waktu subuh, atau yang pingsan di waktu maghrib
setelah menunaikan shalat dan siuman di waktu shubuh sehingga adanya waktu
isya, tidak disadarinya. Ilmu fiqh mengajarkan, bahwa dengan keadaan yang
demikian orang yang bersangkutan terbangun atau sadar kembali,wajib segera
melakukan shalat isya, setelah itu shalat subuh.[46]
d.
Hamidullah
Dalam bukunya yang berjudul Introduction to Islam, Hamidullah
berpendapat bahwa penentuan waktu shalat di daerah yang lintangnya melebihi 45˚
Utara atau Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45˚ saja dan
bujurnya tidak berubah. Contohnya Bandar oslo di Norway (φ= 59,5˚ LU, λ=10,45˚
BT) waktu shalat yang digunakan adalah waktu yang posisi geografisnya φ = 45˚LU,
φ = 10,45˚BT.[47]
e.
Majelis Syari’ah Rabitah
al-‘Alam al-Islamy (1982)
Majelis ini berpendapat bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari/ sebaliknya, maka jadwal shalat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu isya dan subuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat maghrib dan mega merah saat shubuh. Sementara itu kawasan yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu salat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syari’at Islam.[48]
Majelis ini berpendapat bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari/ sebaliknya, maka jadwal shalat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu isya dan subuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat maghrib dan mega merah saat shubuh. Sementara itu kawasan yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu salat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syari’at Islam.[48]
f.
Seminar Islam di
Islamic Centre, London (Mei 1984)
Setelah melakukan kajian dari aspek syar’i dan sains, seminar ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
Setelah melakukan kajian dari aspek syar’i dan sains, seminar ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
Bagi wilayah yang masih mengalami pergantian siang dan malam
secara jelas, waktu shalat di dasarkan sesuai ketentuan syara’. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah
(syafaqul ahmar ) Maka untuk menentukan waktu Isya dan subuh
berdasarkan lintang 48˚ Utara atau Selatan. Bagi mereka yang kesulitan menunggu
waktu Isya karena tidak mengalami hilangnya mega merah dapat melakukan jamak
Taqdim antara shalat maghrib dan isya.[49]
g.
Majelis Fatwa al-Azhar
asy-Syarif
Pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya,
dilakukan dengan cara menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu
siang dan malam setiap tahunnya tak jauh berbeda (teratur). Misalnya mengikuti
Saudi Arabia Fatwa ini di dasarkan
pada hadis Nabi SAW. Ketika menanggapi pernyataan sahabat tentang kewajiban salat
di daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan setahun.
Wahai Rasulullah, bagaimana dengan daerah yang satu harinya( sehari semalam)
sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali salat saja, Rasulullah
“tidak” tapi diperkirakanlah sebagaimana kadarnya (hari-hari biasa). (HR.Muslim)[50]
h.
Prof. Dr. Thomas
Djamaluddin
Menurut Thomas Djamaluddin dalam bukunya Menggagas Fiqh Astronomi,
untuk daerah dengan Lintang lebih dari 48˚ pada musim senja dan fajar
bersambung (continous twilight) sehingga waktu Isya dan Subuh diqiyaskan
(disamakan) pada waktu normal sebelumnya.[51]
Kemudian beliau berpendapat bahwa di Lintang 45˚, pada musim
panas, fajar sekitar pukul. 01.06 dan maghrib pukul 19.52 di lintang 60˚, pada
musim panas senja bersambung fajar kondisi tidak normal (tidak ada gelap malam)
waktu isya mengikuti waktu normal sebelumnya (berdasarkan jam). Fajar pukul
00.34 dan maghrib 21.29. sedangkan di lintang 70˚ pada musim panas, senja
bersambung dengan fajar (tidak ada batasan waktu isya dan shubuh) dan matahari
tidak pernah terbenam (tidak ada batasan waktu magrib). Dan pada musim dingin
matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu dzuhur, ashar dan
magrib). Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan waktu sholat
seluruh dunia, kita tinjau tanggal 1 januari yang deklinasi mataharinya 23˚
selatan. Waktu itu adalah pertengahan musim dingin di belahan bumi utara dan
pertengahan musim panas di belahan selatan. Waktu yang digunakan ialah waktu
surya untuk mempermudah memperoleh ikhtisar karena menurut waktu surya matahari
berkulminasi atas tepat pukul 12.00 dan berkulminasi bawah tepat pukul 24.00[52]
2. Waktu
Puasa di Daerah Kutub
a.
Sayyid Sabiq dalam
bukunya Fiqh Sunnah, mengatakan bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa
apabila suatu tempat di daerah kutub, bulan Ramadannya jatuh pada salah satu
bulan yang fajarnya tidak terbit maka puasa tetap dilaksanakan dengan cara
mengikuti negara tempat turunnya syariah yaitu Mekkah dan Madinah. Ada pula
yang berpendapat mereka berpedoman pada negara yang terdekat.[53] Ada
pula ulama yang berpendapat tidak ada (kewajiban) puasa bagi orang yang tinggal
di daerah kutub.
b.
Menurut fatwa Majelis
Syariah al- Alam al- Islamiah tahun 1982 M, daerah yang mengalami waktu
abnormal dapat dibagi dalam beberapa daerah, yaitu: Pertama, kawasan
yang sangat dekat dengan daerah kutub dimana waktu siang dan malam bisa
mencapai 24 jam. Maka untuk kawasan ini mengikuti daerah terdekat yang siang
dan malamnya dapat dibedakan. Kedua, daerah dimana waktu senja bergabung
dengan fajar, sehingga menyulitkan untuk menentukan waktu Isya, Imsak, dan
Subuh. Maka jalan keluarnya dengan mengikuti waktu musim sebelumnya yang mega
merah dan fajar shadiq dapat dibedakan. Ketiga, daerah yang waktu
siang dan malam terlalu panjang, dimana bisa mencapai 21 jam sampai 23 jam.
Maka untuk daerah ini tetap berpuasa sebagaimana ketentuan syara’, walaupun
kadangkala puasa bisa terlalu singkat waktunya ataupun terlalu panjang.[54]
c.
Saadoe’ddin Djambek
berpendapat, apabila suatu tempat di daerah kutub fajar tidak terbit maka orang
tidak dapat melakukan puasa Ramadan, karena salah satu syarat untuk melakukan
puasa, yaitu terbitnya fajar, tidak dapat dipenuhi. Dalam hal demikian jumlah
hari puasa yang tertinggal itu harus di-qadha pada bulan-bulan
berikutnya.[55]
d.
Menurut al-Maragi dalam
tafsirnya al-Maragi, barang siapa tidak melihat hilal, seperti
penduduk kutub utara dan kutub selatan, maka orang Islam yang berada di tempat
itu harus memperkirakan waktu selama sebulan. Sedang ukuran yang dipakai untuk
wilayah ini adalah berdasarkan keadaan yang sedang (sub tropis), seperti
permulaan disyariatkan puasa yaitu di Mekkah dan Madinah. Dan ada pula yang
mengatakan disamakan dengan negara-negara tetangga, yang bermusim sedang.[56]
e.
Dalam tafsir al-Manar,
Rasyid Ridha mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan
waktu negara mana yang dijadikan dasar untuk menetapkan waktu puasa di daerah
kutub. Ada yang berpendapat bahwa waktu-waktu di daerah tersebut mengikuti
waktu yang berlaku di daerah tempat turunnya wahyu. Ada pula yang berpendapat waktu
puasa di daerah tersebut mengikuti waktu daerah atau negara terdekat. Setiap
pendapat tidak ada yang salah, sebab persoalan tersebut dalam lingkup ijtihad, yang
tidak ada ketetapan nashnya.[57]
- Kesimpulan
Setelah membaca dan memahami pembahasan
di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Yang dimaksud daerah kutub adalah daerah dengan lintang lebih dari 48 derajat pada musim
panas, senja dan fajar bersambung, atau dengan menggunakan pendapat lain di atas 45 derajat.
2. Untuk waktu sholat penulis cenderung ke pendapat yang
mengatakan bahwa waktu sholat mengikuti waktu ibadah
normal yang jaraknya paling dekat dengan lokasi.
Dalam
hal ibadah puasa, sebenarnya dapat mengikuti waktu salat yang telah ditetapkan jika mengacu pada
awal waktu salat maka awal dan akhir dalam satu hari puasa, mengikuti hal tersebut.
Daftar Pustaka
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab Salat Fikih Empat
Mazhab (Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiah, dan Hambaliah), (Jakarta: Hikmah,
2011)
Al-Khin, Musthofa, Musthofa Al-Bugho, Al Fiqh Al-Manhajiy,
Juz I, (Damaskus: Daar Al Qolam, 1428/2008)
Al-Zamakhsyari, al-Kasysaf, An Haqaiq al-Tanzil wa
Uyun al-Aqawil fi Wujuhal-Tanwil, Cet. I,
(Mesir : Musytofa al-Babi al-Halabi, tt)
Ath-Thayyar, Abdullah, Ensiklopedia Salat, Terj. A. M. Halim,
(Jakarta : Magfirah Pustaka, 2006)
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan
Sains Modern, (Yogykarta: Suara Muhammadiyah, 2007)
............., Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet II,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz
2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006)
Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu,
Ter. Masdar Helmi, )Bandung : C.V. Pustaka Media Utama, 2006(
Carroll, Bradley W., dkk., An Introduction to Modern
Astrophysics, (San Francisco: Pearson Education, Inc., 2007)
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya:
Mahkota, 1989)
Djamaluddin, Thomas, Menggagas Fiqih Astronomi,
(Bandung: Kaki Langit, 2005),
Djambek, Saadoe’ddin,
Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I , (Jakarta : Bulan Bintang,
1974)
Hambali, Slamet, Ilmu Falak 1, (Semarang:
Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011)
................., Pengantar Ilmu Falak, (Yogyakarta:
Bismillah Publisher Farabi Institute, 2012)
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 3, (Surabaya : Yayasan Latimojong, 1981)
Hasan, Abdul Halim , Tafsir al-Ahkam, (Jakarta:
Kencana, 2006)
Ibn Hajjaj, Muslim, Shahih Muslim, Juz II,
(Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1992)
Ibn Qudamah, Abdullah Al-Mugni Jilid 3, (Beirut : Dar ‘Alam al-Kutub,1992)
Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak, Teori dan Praktik,
(Jakarta : Buana Pustaka, 2004)
Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Abu Abdillah Al-Umm,
( ttp : Dar al-Wafa, 2001)
Mushthafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi Jilid
1, (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiah, 1974)
Musonnif, Ahmad, Ilmu Falak: Metode Hisab Awal Waktu
Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hakiki Awal Bulan, (Yogyakarta: Teras,
2014)
Qaradawi, Yusuf, Fiqh Puasa, (Surakarta : Era
Interrmedia, 2000)
Raharto, Moedji, Sistem Penanggalan Syamsyiah/
Masehi, (Bandung : Penerbit ITB, 2001)
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Jilid I, (Mesir:
Darul Fatah li I‟lam Arabi, 1990)
Syaltout, Mahmud, Fatwa-Fatwa, Jilid I, Terj.
Fatawa, (Jakarta : Bulan Bintang, 1972)
Syarifuddin, Ahmad, Puasa Menuju Sehat Fisik Dan Psikis, )Jakarta: Gema Insani, 2003(
Syihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. 2,
(Jakarta : Lentera Hati, 2005)
Unit Falak Bahagian Penyelidikan Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia, Kaedah Panduan Falak Syarie, (Kuala Lumpur : Percetakan
Nasional Malaysia Berhad, 2001)
Warson Munawwir, Achmad, al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, )Surabaya : Pustaka Progressif, 1997(
Rizalludin, Pemikiran
Thomas Djamaluddin tentang Salat dan Puasa
di Daerah Dekat Kutub, Jurnal Al-Marshod : Jurnal Astronomi Islam
dan Ilmu Berkaitan.
Asmah Asfaumir, Waktu Sholat di Daerah Kutub, http://asmah1107.blogspot.com/2017/05/waktu-sholat-di-daerah-kutub.html Diakses pada 16 Februari 2020.
http://jayusmanfalak.blogspot.com/2011/04/telaah-ulang-penentuan-waktu-salat-di.html. Diakses 16
Februari 2020 Pukul 22.45 WIB.
http://netsains.net/2008/12/mengapaterjadiperbedaan-musim-di-bumi/.
Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 09: 15 WIB.
http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/.
Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.55 WIB.
http://my-dock.blogspot.sg/2013/03/sudut-deklinasi-dan
lingkarandeklinasi.html. Diakses Pada 15
Februari 2020 Pukul 06.50 WIB.
http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/.
Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.30 WIB.
[3] Muslim ibn Hajjaj, Shahih
Muslim, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1992), No. Hadis : 965
[5]
Achmad
Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, )Surabaya : Pustaka Progressif, 1997(, h. 804.
[7] Musthofa Al-Khin, Musthofa Al-Bugho, Al Fiqh Al-Manhajiy,
Juz I, (Damaskus: Daar Al Qolam, 1428/2008), h.
331.
[10]
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, Ter.
Masdar Helmi, )Bandung
: C.V. Pustaka
Media Utama, 2006(, h. 3.
[11] Abdullah ibn
Qudamah, Al-Mugni Jilid 3,
(Beirut : Dar ‘Alam al-Kutub,1992), h. 4.
[12] Yusuf Qaradawi, Fiqh
Puasa, (Surakarta : Era Interrmedia, 2000), h. 18.
[13] Hamka, Tafsir
al-Azhar Juz 3, (Surabaya : Yayasan
Latimojong, 1981), h. 128.
[15] Ibid., No. Hadis :1842.
[16] Ahmad Musonnif, Ilmu
Falak: Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hakiki Awal
Bulan, (Yogyakarta: Teras, 2014), h. 62.
[17] Abdurrahman
Al-Jaziri, Kitab Salat Fikih Empat Mazhab (Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiah,
dan Hambaliah), (Jakarta: Hikmah, 2011), h. 20.
[21] Al-Zamakhsyari, al-Kasysaf, An Haqaiq
al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuhal-Tanwil, Cet. I, (Mesir : Musytofa al-Babi al-Halabi, tt) h.
367
[23] Ibid.
[25] Slamet Hambali, Pengantar
Ilmu Falak, (Yogyakarta: Bismillah Publisher Farabi Institute, 2012), h. 202.
[26] Slamet Hambali, Ilmu
Falak 1, (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang,
2011), h. 136.
[28]
Khatulistiwa
yaitu lingkaran besar yang membagi bumi menjadi dua bagian yang sama dan mempunyai jarak yang sama dari dekat kutub Utara dan dekat
kutub Selatan. Khatulistiwa ini dijadikan permulaan
perhitungan lintang (latitude) dan lintang ini adalah 0°. Dalam bahasa
Inggris disebut Equator. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi
Hisab Rukyat, cet II, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,
2008), h. 105.
[30]
Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/.
Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.30 WIB.
[32]
Lihat, http://my-dock.blogspot.sg/2013/03/sudut-deklinasi-dan
lingkarandeklinasi.html. Diakses Pada 15 Februari 2020 Pukul 06.50 WIB.
[34] Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15
Februari 2020 Pukul 06.55 WIB.
[35]
Bradley W.
Carroll, dkk., An Introduction to Modern Astrophysics, (San Francisco:
Pearson Education, Inc., 2007), h. 11
[37] Saving day light biasanya diterapkan di beberapa negara Eropa Barat, wilayah
Amerika Serikat dan juga Canada, serta sebagian wilayah Australia, terutama
untuk wilayah yang memiliki 4 musim dalam 1 tahun. Prinsipnya adalah
memundurkan waktu 1 jam ke belakang sehingga waktu sore menjadi lebih lama dan
waktu pagi menjadi lebih pendek. Misalnya normalnya saat ini jam 7, maka jam
dimundurkan 1 jam menjadi jam 8. Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapaterjadiperbedaan-musim-di-bumi/.
Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 09: 15 WIB.
[40]
T Djamaluddin, Shalat di
Daerah Sekitar Kutub dan Antariksa, makalah perkuliahan Hisab Kontemporer,
Semarang, IAIN Walisongo, 11 Juni 2010 dan Shaum. Lihat, http://jayusmanfalak.blogspot.com/2011/04/telaah-ulang-penentuan-waktu-salat-di.html.
Diakses 16 Februari 2020 Pukul 22.45 WIB.
[42] Rizalludin, Pemikiran Thomas Djamaluddin tentang Salat
dan Puasa di Daerah Dekat Kutub,
Jurnal Al-Marshod : Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu Berkaitan, h. 122-123.
[43] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains
Modern, (Yogykarta: Suara Muhammadiyah, 2007), h. 72. Lihat juga hadis Imam
Muslim tentang turunnya Dajjal dan masa tinggalnya di Bumi. Al Imam Yahya bin
Syarif an-Nawawi ad-Dimsyiqy asy-Syafi‟i, Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî,
Jus 17, (Beirut: Dâr al-Dekat kutub al-Alamiyyah, tt), h. 50-57.
[46] Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I ,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 16.
[47] Asmah Asfaumir, Waktu
Sholat di Daerah Kutub, http://asmah1107.blogspot.com/2017/05/waktu-sholat-di-daerah-kutub.html Diakses pada 16 Februari
2020
[50] Ibid.
[52] Ibid.
[54] Unit Falak Bahagian Penyelidikan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia,
Kaedah Panduan Falak Syarie, (Kuala Lumpur : Percetakan Nasional Malaysia
Berhad, 2001), h. 55.
[57] Abdullah ath-Thayyar, Ensiklopedia Salat, Terj. A. M.
Halim, (Jakarta : Magfirah Pustaka, 2006),
h. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar di bawah ini :