Selasa, 09 Juni 2020

Puasa di Negara yang Siangnya Terlalu Lama


 Persoalan Pelaksanaan Ibadah Salat dan Puasa di Daerah Kutub

Alaik Ridhallah

Universitas Islam Negeri Walisongo

A.   Pendahuluan
Puasa dan Salat merupakan ibadah yang sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu hingga kini. Pelaksanannya tidak lepas dari ruang dan waktu. selama ini dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadis sesuai diterapkan di daerah yang siang dan malamnya hampir sama (daerah di sekitar garis Khatulistiwa), variasi antara 13-14 jam. Berawal hal itu, muncul beberapa problem yang menjadi perdebatan dan menjadi pertanyaan oleh kebanyak orang Islam, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan puasa di daerah yang lokasinya jauh dari garis khatulistiwa. Untuk daerah yang berada di lintang tinggi (dekat kutub), perbedaan waktu siang dan malam jadi mencolok. Saat musim panas siang hari paling panjang dan malam paling pendek, begitu pula yang terjadi sebaliknya pada waktu musim dingin. Bahkan siang bisa mencapai 20 jam. Panjang hari mempengaruhi lamanya waktu menjalankan puasa. Atau bahkan tidak muncul Matahari selama berbulan-bulan.
Sehingga sangat menarik untuk ditindaklanjuti dalam bentuk tulisan yang membahas bagiamana tata cara dan bagimana pula pandangan para ulama fikih dan ilmuan astronomi dalam menyikapi hal demikian.

B.    Dalil Nash Waktu Salat dan Puasa
  1. Nash Qur’an tentang waktu Salat
Surat an-Nisa ayat 103:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orangorang yang beriman”.

Prof. Muhammad Quraish Syihab menjelaskan bahwa, kata  (كتابا موقوتا) dalam surat an-Nisa ayat 103 diartikan sebagai salat merupakan kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab apapun.[1]

Surah al-Isra ayat 78 :

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya: “dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.24 Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.

Dalam Tafsir al-Ahkam dijelaskan bahwa semua mufasir telah sepakat, bahwa ayat  ini menerangkan Salat yang lima. Dalam menafsirkan  (لدلوك الشمس) terdapat dua perkataan. Pertama, tergelincir atau condongnya Matahari dari tengah langit. Berkata Farra’, دلوك  itu berarti mulai dari condong Matahari sampai terbenam. Berdasarkan keterangan ini maka ayat ini berarti kerjakan salat Zuhur dan Asar mulai dari condong Matahari sampai terbenam.[2] Kata دلوك itu berarti mulai dari condong Matahari sampai terbenam. Berdasarkan keterangan ini maka ayat ini berarti kerjakan salat Zuhur dan Asar mulai dari condong Matahari sampai terbenam.
Selanjutnya kalimat إلى غسق اليل ialah salat malam, yaitu Salat Isya. Kata قرأن الفجر ialah Salat Subuh. Dengan kalimat غسق اليل  jelas bahwa waktu salat itu ialah sampai terbenamnya Matahari.
  1. Nash Hadis tentang waktu Salat
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ[3]

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Ibrahim Ad Duraqi telah menceritakan kepada kami Abdushshamad telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Ayyub dari Abdullah bin 'Amru bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Waktu shalat Dzuhur adalah jika matahari telah concong dan bayangan sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat Maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat Subuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit diantara dua tanduk setan."
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَزِينٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ طَهْمَانَ عَنْ الْحَجَّاجِ وَهُوَ ابْنُ حَجَّاجٍ عَنْ قَتَادَةَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ فَقَالَ وَقْتُ صَلَاة الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ[4]
Dan telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yusuf Al Azadi telah menceritakan kepada kami Umar bin Abdullah bin Razin telah menceritakan kepada kami Ibrahim yaitu Ibnu Thahman dari Al Hajjaj yaitu Ibnu Hajjaj dari Qatadah dari Abu Ayyub dari Abdullah bin 'Amru bin 'Ash bahwa ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang waktu shalat, beliau lalu bersabda: "Waktu shalat fajar (subuh) sebelum tanduk setan pertama muncul, dan waktu shalat Dzuhur jika matahari telah miring dari permukaan langit, selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan tanduk pertamanya menghilang, dan waktu shalat Maghrib jika matahari menghilang selama mega merah (syafaq) menghilang, dan waktu shalat isya' hingga pertengahan malam."

  1. Nash Qur’an tentang waktu Puasa
Puasa pada bulan Ramadan termasuk salah satu dari lima rukun Islam. Dalam bahasa Arab, puasa disebut shaum (صوم) yang pokok artinya berarti: menahan atau berhenti dari sesuatu.[5]  Arti puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum secara bahasa berarti menahan diri (berpantang) dari suatu perbuatan.[6]  
Kata Al-shiyaam  merupakan berasal dari hikayah Sayyidah Maryam r.a. yang termaktub dalam Al Qur‟an Surat Maryam ayat 26[7] :
Artinya :“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini".(QS. Maryam :26).[8]
Puasa yang dimaksud dalam ayat ini adalah diam, tidak berbicara atau disebut shaama’anil kalaam artinya menahan diri dari berbicara. Orangorang Arab mengatakan shaama an-nahaaru (siang sedang berpuasa) apabila gerak bayang-bayang benda yang terkena sinar Matahari berhenti pada waktu tengah hari.[9]
Jelasnya, shaum adalah menghentikan perbuatan berupa syahwat perut dan faraj dari segala hal yang masuk kedalam perut baik berupa obat atau lainnya pada waktu tertentu. Yakni, dari sejak terbit fajar kedua (shadiq) sampai Matahari terbenam, yang dilakukan oleh orang tertentu yang mampu, yaitu seorang muslim, berakal, tidak dalam haid atau nifas dengan niat bulat tanpa ragu-ragu melaksanakannya sehingga dapat dibedakan antara ibadah dengan kebiasaan.[10]
Al-Baqarah (2):187 :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاس لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”
Istilah benang merupakan kata kiasan, yang maksudnya adalah hingga hari kelihatan terang, yaitu dengan terbitnya fajar. Ibnu Abdil Bar mengomentari bahwa perkataan nabi Muhammad saw. “Sesungguhnya bila Bilal berkumandang dimalam hari, makan minumlah kalian hingga Abdullah ibn Maktum berkumandang” merupakan petunjuk bahwa benang putih itu waktu Subuh, sebab berdasarkan ijma’, sahur itu dilaksanakan  sebelum fajar terbit[11]. Jumhur ulama telah bersepakat bahwa berakhirnya waktu sahur dan dimulainya puasa selama sehari adalah ketika masuk waktu salat Subuh yang ditandai dengan terbitnya fajar yang sebenarnya atau fajar shadiq[12]
Al-Baqarah(2):185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur

firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ”. Maksudnya orang yang hadir dan telah tahu bahwa bulan Ramadan itu telah masuk hendaklah dia berpuasa. Diayat ini ditegaskan bulan dengan kata syahr, yaitu hitungan masuknya Ramadan. Bukan dengan kata hilal atau kamar. Sayangnya dalam bahasa Indonesia bulan yang kelihatan itu kita namai bulan juga, padahal dalam bahasa Arab disebut hilal (bulan sabit) atau kamar. Sedangkan hitungan sebulan dinamai bulan juga, padahal dalam bahasa Arab hitungan sebulan itu disebut syahr,[13]

  1. Nash Hadis tentang waktu Puasa
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ) وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ (قَالَ كَانَ الرَّجُلُ يَأْخُذُ خَيْطًا أَبْيَضَ وَخَيْطًا أَسْوَدَ فَيَأْكُلُ حَتَّى يَسْتَبِينَهُمَا حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ )مِنْ الْفَجْرِ (فَبَيَّنَ ذَلِكَ[14]

Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami Abu Hazim telah menceritakan kepada kami Sahl bin Sa'dari ia berkata; Ketika turun ayat; "…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…", ia berkata; Ada seorang lelaki yang mengambil satu benang berwarna hitam dan satu benang lagi berwarna putih, lalu ia makan (sahur) sampai keduanya terlihat jelas sehingga Allah 'azza wajalla menurunkan ayat; "Yaitu fajar." Maka perkara itupun menjadi jelas baginya.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو كُرَيْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَاتَّفَقُوا فِي اللَّفْظِ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ و قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي و قَالَ أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ جَمِيعًا عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ لَمْ يَذْكُرْ ابْنُ نُمَيْرٍ فَقَدْ[15]
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Abu Kuraib dan Ibnu Numair -mereka semua sepakat mengenai lafazhnya- Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Mu'awiyah -sementara Ibnu Numair berkata- telah menceritakan kepada kami bapakku -sementara Abu Kuraib berkata- telah menceritakan kepada kami Abu Usamah semuanya dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Ashim bin Umar dari Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh sudah boleh berbuka." Ibnu Numair tidak menyebutkan kata: "FAQAD (sungguh)."

  1. Waktu Ibadah Salat dan Puasa
1.      Waktu Zuhur

Waktu salat Zuhur dimulai ketika tergelincirnya Matahari dari tengah langit (istiwa’) ke arah barat ditandai dengan terbentuknya bayangan suatu benda, sesaat setelah posisi Matahari di tengah langit dan waktu zuhur berakhir ketika masuk waktu asar. Yang dimaksud langit bukanlah zenit, akan tetapi tengah-tengah langit diukur dari ufuk timur dan barat.[16]
2.      Waktu Asar
Malikiyah berpendapat bahwa Asar memiliki dua waktu, dharuri dan ikhtiyari. Waktu dharuri dimulai sejak sinar Matahari yang terpantul di Bumi dan di dinding terlihat menguning dan bukan Mataharinya sendiri yang menguning karena Matahari hanya terlihat menguning ketika terbenam. Adapun waktu ikhtiyari dimulai sejak bayangan suatu benda lebih panjang dari bendanya dan berakhir hingga Matahari menguning.[17]
Hambaliah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat berakhirnya waktu Zuhur, yaitu saat bayangan benda sama dengan panjang bendanya selain bayangan saat istiwa. Waktu Asar bersambungan langsung dengan waktu Zuhur tanda adanya waktu pemisah, dan waktu Asar akan habis saat Matahari terbenam.[18]
Sedangkan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Asar dimulai saat bayangan suatu benda telah melebihi panjang benda tersebut.[19]
Fuqaha’ telah sepakat bahwa akhir waktu Asar adalah sesaat sebelum terbenamnya Matahari.

3.      Waktu Maghrib
Ulama mazhab Malikiah sepakat bahwa waktu Magrib dimulai sejak terbenamnya Matahari, Terbenam didefinisikan ketika seluruh piringan Matahari telah terbenam dan tidak terlihat lagi, baik dari dataran rendah maupun pegunungan. Waktu Magrib berakhir ketika mega merah terbenam. Dalam hal ini, Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat (qaul). Menurut qaul jadid, waktu Magrib keluar dengan perkiraan waktu yang cukup untuk bersuci, menutup aurat, azan, iqamat dan salat dua rakaat. Dalam perkara ini yang diperhitungkan adalah yang sedang dan sederhana. Qaul qadim mengatakan bahwa waktu Magrib tidak keluar hingga terbenamnya mega merah.[20]

4.      Waktu Isya
Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-syafaq adalah warna merah di langit. Kemudian terbenamnya warna merah itu jelas di kebanyakan tempat. Sedangkan orang-orang yang bertempat tinggal di suatu tempat yang malamnya pendek dan tidak melihat terbenamnya warna merah, maka hendaknya melaksanakan salat Isya apabila diperkirakan telah berlalu waktu hilangnya warna merah di langit di negeri terdekat.[21]
Menurut Hambaliah, Isya’ mempunyai dua waktu seperti Asar. (1) waktu ikhtiyari dimulai sejak hilangnya mega hingga paruh ketiga dari awal malam; (2) Waktu dharuri dimulai sejak paruh sepertiga kedua dari malam dan berakhir dengan terbitnya fajar shadiq. Jadi, orang yang mendirikan salat pada waktu ini berarti ia berdosa walaupun salatnya itu adalah salat ada’an. Adapun salat Subuh, Zuhur, dan Maghrib menurut Hambaliah tidak mempunyai waktu dharuri.[22]
Malikiah berpendapat, waktu Isya’ ikhtiyari dimulai sejak hilangnya mega merah dan berakhir dengan habisnya sepertiga malam pertama. Adapun waktu Isya’ dharuri dimulai setelah waktu itu hingga terbit fajar. Jadi, orang yang mendirikan salat Isya’ pada waktu dharuri tanpa halangan berarti orang itu berdosa[23]
5.      Waktu Subuh
Waktu salat Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq, yaitu seberkas cahaya yang mendahului cahaya Matahari. Terbit di timur secara meluas dan memenuhi horizon, lalu naik ke langit-bulan fajar kadzib, yaitu seberkas cahaya yang tidak memancar luas.Semburan dalam volume kecil dan memanjang menuju langit. Kedua sisinya gelap sehingga mirip ekor serigala hitam yang bagian dalam ekornya berwarna putih dan bagian luarnya berwarna putih.[24]

  1. Problem dan Gambaran Umum Kondisi Alam Dekat Kutub
1.      Posisi Bumi - Matahari
Revolusi Bumi adalah peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Bumi mengelilingi Matahari pada orbitnya sekali dalam waktu 365¼. Waktu 365¼ atau satu tahun surya disebut kala revolusi bumi. Poros Bumi tidak tegak lurus terhadap bidang ekliptika melainkan miring dengan arah yang sama membentuk sudut 23,5º terhadap Matahari. Revolusi ini menimbulkan beberapa gejala alam yang berlangsung secara berulang tiap tahun salah satu di antaranya adalah perbedaan lama siang dan malam dan perubahan musim.[25] Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Berbeda dengan wilayah berlintang tinggi (dekat daerah dekat kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Daerah dekat kutub merupakan daerah yang tidak pasti terkena sinar Matahari, karena daerah tersebut lintasannya antara garis balik sampai ke dekat kutub.[26]
Ketika Matahari berada di titik utara, yaitu antara tanggal 21 Maret s.d 23 September belahan Bumi utara menerima sinar Matahari lebih banyak daripada belahan Bumi selatan. Panjang siang di belahan Bumi utara lebih lama dari pada di belahan Bumi selatan, namun ketika Matahari berada di titik selatan, antara tanggal 23 September s.d 21 Maret wilayah di sekitar dekat kutub selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar dekat kutub selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di dekat kutub utara. Pada bulan Maret dan bulan September dekat kutub utara dan dekat kutub selatan berjarak sama ke Matahari. Belahan Bumi utara dan belahan Bumi selatan menerima sinar Matahari sama banyaknya. Panjang siang dan malam sama di seluruh belahan Bumi.[27]
Daerah di sekitar khatulistiwa[28] (23,5 LU – 23,5 LS) disebut daerah tropis, iklimnya disebut iklim tropis yaitu memiliki dua musim dengan kelembapan udara paling cocok untuk banyak jenis makhluk hidup. Wilayah
yang jauh dari garis khatulistiwa dan berdekatan dengan daerah dekat kutub memiliki musim lebih banyak.
Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah dekat kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang haripaling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Bumi yang dibagi oleh garis khatulistiwa, utara, dan selatan. Pada posisi tersebut, bagian selatan Bumi menerima sinar Matahari lebih banyak daripada bagian utara sehingga bagian selatan mengalami musim panas atau musim kemarau untuk daerah tropis.[29]
Sementara bagian utara mengalami musim dingin atau musim hujan untuk daerah tropis. Kondisi ini akan berganti setelah enam bulan, saat posisi Bumi di sebelah kanan Matahari. Perhatikan juga dekat kutub utara dan selatan bumi. Walau Bumi sudah berotasi penuh (24 jam), dekat kutub utara tidak akan menerima sinar Matahari sehingga selalu malam, sedangkan dekat kutub selatan menerima sinar Matahari terus sehingga selalu siang. Kondisi ini akan berlaku sampai enam bulan, saat posisi bumi di sebelah kanan Matahari.[30] Ini merupakan penjelasan mengapa di daerah kutub pergantian siang dan malam adalah sekali dalam enam bulan.
Ini juga menjelaskan bagaimana pada musim panas siang hari lebih lama daripada malam hari (atau sebaliknya pada musim dingin). Lebih detail lagi, pada tanggal 21 Juni bagian utara mengalami siang hari terpanjang (sebaliknya bagian selatan siang hari terpendek); 21 Maret dan 23 September, Matahari tepat berada di garis khatulistiwa sehingga lama siang hari benar-benar sama dengan lama malam hari di semua wilayah Bumi; dan 21 Desember bagian utara mengalami siang hari terpendek (sebaliknya bagian selatan siang hari terpanjang).[31] Keempat hari itu adalah
terkait dengan empat musim yang ada di Bumi. Lihat gambar berikut :




Gambar Bola langit terkait lintasan deklinasi Matahari[32]
Pancaran Matahari yang diterima oleh Bumi berubah secara periodik melalui tiga zona yaitu tropic of cancer (daerah yang dilalui garis lintang utara ±23,5°), equator (daerah yang dilalui garis lintang 0°), dan tropic of capricorn (daerah yang dilalui garis lintang selatan ±23,5°).[33] Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang dilintasi oleh garis equator. India, Saudi Arabia, dan Meksiko merupakan contoh negara yang dilewati oleh tropic of cancer, sedangkan contoh daerah yang dilewati tropic of capricorn adalah Afrika Selatan, Quensland (Australia) dan Argentina.
Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah tropic of cancer. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere seperti Eropa dan Amerika akan mengalami musim panas (summer) sedangkan daerah selatan hemisphere seperti Australia bagian tengah dan selatan mengalami musim dingin (winter). Lamanya waktu siang di daerah utara lebih panjang
dibanding daerah selatan. Makin ke utara, waktu siang akan semakin panjang, puncaknya di kutub utara yang terang sepanjang hari sedangkan kutub selatan gelap sepanjang hari.[34]






Gambar Deklinasi Matahari[35]
Tanggal 23 September adalah waktu terjadinya Autumnal equinox yaitu titik musim gugur.[36] Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah equator. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere akan mengalami musim gugur (autumnal) karena suhu lebih rendah dibanding periode sebelumnya akibat berkurangnya pancaran sinar Matahari, sedang daerah selatan mengalami musim semi (spring). Bagi mereka yang tinggal di Eropa, pada tanggal tertentu waktu akan diperlambat satu jam (saving day light)[37] menjadikan malam akan berangsur lebih lama dan akan mencapai puncak pada periode selanjutnya, musim dingin (winter).
Pada tanggal 21/22 Desember, Winter solstice. Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah tropic of capricorn. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere akan mengalami musim dingin (winter) sedangkan daerah selatan hemisphere mengalami musim panas (summer). Lamanya waktu siang di daerah selatan lebih besar dibanding daerah utara.[38] Makin ke utara, waktu malam akan semakin lama, puncaknya di kutub utara yang gelap sepanjang hari, sedangkan kutub selatan terang sepanjang hari.
Pada tanggal 21/22 Maret, spring equinox. Pancaran sinar Matahari akan membentuk sudut 90° pada daerah equator. Pada kondisi ini daerah utara hemisphere akan mengalami musim semi (spring) karena adanya kenaikan suhu dibanding periode sebelumnya, sedang daerah selatan hemisphere mengalami musim gugur (autumn). Kebalikan dari Autumn equinox, waktu akan dipercepat satu jam karena siang akan berangsurangsur menjadi lebih lama dan akan maksimal pada musim panas
(summer).[39]
  1. Waktu Salat dan Puasa di Daerah Kutub
Pada saat matahari berada di titik Utara, sekitar bulan Juli, wilayah sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang singkat dan waktu malam yang panjang. Namun ketika matahari berada di titik Selatan, wilayah di sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar kutub Selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di kutub Utara. Dengan kata lain terdapat kondisi yang menyebabkan tidak dapat/sulit ditentukannya waktu-waktu salat tertentu. Gambaran kondisi tersebut sebagai berikut:[40]
1.      Jadwal Salat di Lintang 60o pada musim panas senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh). Terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan awal waktu Isya dan Subuh. Kondisi tidak normal: tidak ada gelap malam.
2.      Jadwal Salat di Lintang 70°  pada musim panas, senja bersambung fajar  (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh) seperti kondisi di Lintang 60o dan Matahari tak pernah terbenam  (tidak ada batasan waktu maghrib). Pada musim dingin matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu Zuhur, Asar, dan Magrib).
Thomas Djamaluddin menjelaskan, untuk daerah dengan lintang lebih dari 48 derajat pada musim panas, senja dan fajar bersambung (continuous twilight)[41]
No
Daerah
Lintang
Bujur
1
Brussel-Belgium
U 50o 51’
04o 21’T
2
London- United Kingdom
U 51o 30’
00o05’ B
3
Rotterdam-Netherand
U 51o 55’
04o 30’ T
4
GravanbageNetherland
U 52o 05’
04o 18’T
5
Amsterdam- Netherland
U 52o 21’
04o 55’ T
6
Berlin- Germany
U 52o  31’
13o 23’ T
7
Groningen- Netherland
U 53o 13’
0634’ T

8
Dublin- Ireland
 U 53o 21’
06o 15’ B
9
Hamburg-Germany
U 53o  33’
09o 58’ T
10
Liverpool-United Kingdom
U 53o 33’
03o 00’ B

11
Moskow-Rusian Federation
U 55o  45’
37o 36’ T
12
Edinburg-United Kingdom
U 55o 57’
03o 11’B

13
Schotlandia
U 5645’
04o 30’ B
14
Stockholm-Swedan
U 59o 20’
18o 00’ T
15
Magadan
U 59o 40’
151o 00’T
16
Oslo-Norwegia
U 59o 57’
10o 45’ T
17
Helsinki-Finlandia
U 60o  13’
24o 58’T
18
Leksand
U 60o 45’
15o 05’ T
19
Lahti
U 60o 55’
25o 45’T
20
Pori
U 61o 29’
21o 32’T
21
Sundsvall
U 62o 21’
17o 12’ T
22
Trondheim
U 63o 25’
10o 20’ T
23
Kayaami
U 64o 15’
27o 42’ T
24
Kemi
U 65o 45’
24o 50’ T
25
Haparanda
U 65o 49’
24o 00’ T
26
Kemiyarvi
U 66o 30’
25o 45’ T
27
Bedo
U 67o 16’
14o 22’ T
28
Kiruna
U 67o 50’
20o 20’ T
29
Kirkenes
U 69o 45’
30o 00’ T
30
Jan Mayen
U 70o 40’
08o 00’ B
31
Reykjavik- Iceland
U 64o 05’
21o 50’ B
32
Punta Arenas- Chile
S 53o 20’
71o 00 B

Lintang lebih dari 48 derajat adalah batas untuk mengidentifikasi adanya waktu salat yang digunakan Thomas Djamaluddin sebagai batas mengakhiri sahur pada waktu Subuh dan berbuka pada waktu Magrib. Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya. Adanya perbedaan panjang tahun kamariyah (kalender Bulan) dan tahun syamsiah (kalender Matahari) menyebabkan awal Ramadan dan hari raya selalu bergeser sekitar 11 hari lebih awal. Sehingga bila Ramadan jatuh pada sekitar bulan Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya puasa di daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia.[42]
1.      Waktu Salat di Daerah Kutub
Ulama dan ahli astronomi saling berbeda pendapat sehubungan dengan penetapan waktu salat dan puasa  pada beberapa daerah yang dekat dengan daerah kutub yang mengalami masa siang teramat panjang dan malam teramat singkat, atau sebaliknya, bahkan keadaan di daerah kutub utara yang mengalami malam panjang hingga berbulan-bulan lamanya, sementara di belahan bumi selatan mengalami siang dalam tempo waktu yang sama pula.
a.       Majelis Fatwa al-Azhar al-Syarîf mengemukakan bahwa pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyamakan waktunya dengan daerah di mana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur), misalnya mengikuti Saudi Arabia (Makkah dan Madinah). Fatwa ini didasarkan pada hadis Nabi Saw, ketika menanggapi pertanyaan sahabat tentang kewajiban salat di daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan setahun. “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali salat saja? Rasulullah menjawab “tidak” tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (hari-hari biasa)”. (HR. Muslim).[43]
b.      Mahmud Syaltout dalam bukunya Fatawa, menjelaskan bahwa pendapat yang mengatakan tidak ada salat dan puasa bagi orang yang tinggal di daerah kutub tidak cocok dengan nash yang menetapkan wajibnya salat dan puasa. Karenanya, untuk melaksanakan perintah agama itu tak ada alternatif lain selain memperkirakan hari, malam, dan bulan di daerah kutub dengan waktu di negeri-negeri yang terdekat, yang mempunyai waktu yang biasa.[44] Hal tersebut dipertegas kembali oleh Wahbah Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang menyatakan bahwa daerah yang mengalami perubahan waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu salatnya adalah dengan mengikuti daerah normal terdekat.[45]
c.       Saadoe’ddin Djambek
Untuk penentuan waktu shalat di daerah kutub dapat diqiyaskan dengan orang yang tertidur atau pingsan. Beliau mengeruaikan : “ Perubahan syafak merah di langit bagian barat menjadi fajar di langit bagian Timur., berlaku secara tiba-tiba, boleh di katakan tanpa suasana peralihan, jadi tanpa disadari. Keadaannya boleh di umpakan seperti hal seorang, yang tertidur di waktu maghrib lalu terbangun di waktu subuh, atau yang pingsan di waktu maghrib setelah menunaikan shalat dan siuman di waktu shubuh sehingga adanya waktu isya, tidak disadarinya. Ilmu fiqh mengajarkan, bahwa dengan keadaan yang demikian orang yang bersangkutan terbangun atau sadar kembali,wajib segera melakukan shalat isya, setelah itu shalat subuh.[46]


d.      Hamidullah
Dalam bukunya yang berjudul Introduction to Islam, Hamidullah berpendapat bahwa penentuan waktu shalat di daerah yang lintangnya melebihi 45˚ Utara atau Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45˚ saja dan bujurnya tidak berubah. Contohnya Bandar oslo di Norway (φ= 59,5˚ LU, λ=10,45˚ BT) waktu shalat yang digunakan adalah waktu yang posisi geografisnya φ = 45˚LU, φ = 10,45˚BT.[47]
e.       Majelis Syari’ah Rabitah al-‘Alam al-Islamy (1982)
           Majelis ini berpendapat bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari/ sebaliknya, maka jadwal shalat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat. Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah maka untuk menentukan waktu isya dan subuh berdasarkan waktu (musim) sebelumnya yang dapat membedakan mega merah saat maghrib dan mega merah saat shubuh. Sementara itu kawasan yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjang siang sangat singkat sekali atau sebaliknya, maka waktu salat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syari’at Islam.[48]
f.        Seminar Islam di Islamic Centre, London (Mei 1984)
           Setelah melakukan kajian dari aspek syar’i dan sains, seminar ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
Bagi wilayah yang masih mengalami pergantian siang dan malam secara jelas, waktu shalat di dasarkan sesuai ketentuan syara’.  Kawasan yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar ) Maka untuk menentukan waktu Isya dan subuh berdasarkan lintang 48˚ Utara atau Selatan. Bagi mereka yang kesulitan menunggu waktu Isya karena tidak mengalami hilangnya mega merah dapat melakukan jamak Taqdim antara shalat maghrib dan isya.[49]
g.       Majelis Fatwa al-Azhar asy-Syarif
Pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tak jauh berbeda (teratur). Misalnya mengikuti Saudi Arabia Fatwa ini di dasarkan pada hadis Nabi SAW. Ketika menanggapi pernyataan sahabat tentang kewajiban salat di daerah-daerah yang harinya menyamai seminggu atau sebulan bahkan setahun. Wahai Rasulullah, bagaimana dengan daerah yang satu harinya( sehari semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali salat saja, Rasulullah “tidak” tapi diperkirakanlah sebagaimana kadarnya (hari-hari biasa). (HR.Muslim)[50]
h.       Prof. Dr. Thomas Djamaluddin
Menurut Thomas Djamaluddin dalam bukunya Menggagas Fiqh Astronomi, untuk daerah dengan Lintang lebih dari 48˚ pada musim senja dan fajar bersambung (continous twilight) sehingga waktu Isya dan Subuh diqiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya.[51]
Kemudian beliau berpendapat bahwa di Lintang 45˚, pada musim panas, fajar sekitar pukul. 01.06 dan maghrib pukul 19.52 di lintang 60˚, pada musim panas senja bersambung fajar kondisi tidak normal (tidak ada gelap malam) waktu isya mengikuti waktu normal sebelumnya (berdasarkan jam). Fajar pukul 00.34 dan maghrib 21.29.  sedangkan di lintang 70˚ pada musim panas, senja bersambung dengan fajar (tidak ada batasan waktu isya dan shubuh) dan matahari tidak pernah terbenam (tidak ada batasan waktu magrib). Dan pada musim dingin matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu dzuhur, ashar dan magrib). Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan waktu sholat seluruh dunia, kita tinjau tanggal 1 januari yang deklinasi mataharinya 23˚ selatan. Waktu itu adalah pertengahan musim dingin di belahan bumi utara dan pertengahan musim panas di belahan selatan. Waktu yang digunakan ialah waktu surya untuk mempermudah memperoleh ikhtisar karena menurut waktu surya matahari berkulminasi atas tepat pukul 12.00 dan berkulminasi bawah tepat pukul 24.00[52]
2.      Waktu Puasa di Daerah Kutub
a.       Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, mengatakan bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa apabila suatu tempat di daerah kutub, bulan Ramadannya jatuh pada salah satu bulan yang fajarnya tidak terbit maka puasa tetap dilaksanakan dengan cara mengikuti negara tempat turunnya syariah yaitu Mekkah dan Madinah. Ada pula yang berpendapat mereka berpedoman pada negara yang terdekat.[53] Ada pula ulama yang berpendapat tidak ada (kewajiban) puasa bagi orang yang tinggal di daerah kutub.
b.      Menurut fatwa Majelis Syariah al- Alam al- Islamiah tahun 1982 M, daerah yang mengalami waktu abnormal dapat dibagi dalam beberapa daerah, yaitu: Pertama, kawasan yang sangat dekat dengan daerah kutub dimana waktu siang dan malam bisa mencapai 24 jam. Maka untuk kawasan ini mengikuti daerah terdekat yang siang dan malamnya dapat dibedakan. Kedua, daerah dimana waktu senja bergabung dengan fajar, sehingga menyulitkan untuk menentukan waktu Isya, Imsak, dan Subuh. Maka jalan keluarnya dengan mengikuti waktu musim sebelumnya yang mega merah dan fajar shadiq dapat dibedakan. Ketiga, daerah yang waktu siang dan malam terlalu panjang, dimana bisa mencapai 21 jam sampai 23 jam. Maka untuk daerah ini tetap berpuasa sebagaimana ketentuan syara’, walaupun kadangkala puasa bisa terlalu singkat waktunya ataupun terlalu panjang.[54]
c.       Saadoe’ddin Djambek berpendapat, apabila suatu tempat di daerah kutub fajar tidak terbit maka orang tidak dapat melakukan puasa Ramadan, karena salah satu syarat untuk melakukan puasa, yaitu terbitnya fajar, tidak dapat dipenuhi. Dalam hal demikian jumlah hari puasa yang tertinggal itu harus di-qadha pada bulan-bulan berikutnya.[55]
d.      Menurut al-Maragi dalam tafsirnya al-Maragi, barang siapa tidak melihat hilal, seperti penduduk kutub utara dan kutub selatan, maka orang Islam yang berada di tempat itu harus memperkirakan waktu selama sebulan. Sedang ukuran yang dipakai untuk wilayah ini adalah berdasarkan keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan disyariatkan puasa yaitu di Mekkah dan Madinah. Dan ada pula yang mengatakan disamakan dengan negara-negara tetangga, yang bermusim sedang.[56]
e.       Dalam tafsir al-Manar, Rasyid Ridha mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan waktu negara mana yang dijadikan dasar untuk menetapkan waktu puasa di daerah kutub. Ada yang berpendapat bahwa waktu-waktu di daerah tersebut mengikuti waktu yang berlaku di daerah tempat turunnya wahyu. Ada pula yang berpendapat waktu puasa di daerah tersebut mengikuti waktu daerah atau negara terdekat. Setiap pendapat tidak ada yang salah, sebab persoalan tersebut dalam lingkup ijtihad, yang tidak ada ketetapan nashnya.[57]

  1. Kesimpulan
Setelah membaca dan memahami pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Yang dimaksud daerah kutub adalah daerah dengan lintang lebih dari 48 derajat pada musim panas, senja dan fajar bersambung, atau dengan menggunakan pendapat lain di atas 45 derajat.
2.      Untuk waktu sholat penulis cenderung ke pendapat yang mengatakan bahwa waktu sholat mengikuti waktu ibadah normal yang jaraknya paling dekat dengan lokasi.
Dalam hal ibadah puasa, sebenarnya dapat mengikuti waktu salat yang telah ditetapkan jika mengacu pada awal waktu salat maka awal dan akhir dalam satu hari puasa, mengikuti hal tersebut.

Daftar Pustaka
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab Salat Fikih Empat Mazhab (Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiah, dan Hambaliah), (Jakarta: Hikmah, 2011)
Al-Khin, Musthofa,  Musthofa Al-Bugho, Al Fiqh Al-Manhajiy, Juz I, (Damaskus: Daar Al Qolam, 1428/2008)
Al-Zamakhsyari, al-Kasysaf, An Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuhal-Tanwil, Cet. I,  (Mesir : Musytofa al-Babi al-Halabi, tt)
Ath-Thayyar, Abdullah,  Ensiklopedia Salat, Terj. A. M. Halim, (Jakarta : Magfirah Pustaka, 2006)
Azhari, Susiknan,  Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogykarta: Suara Muhammadiyah, 2007)
............., Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz 2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006)
Az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, Ter. Masdar Helmi, )Bandung : C.V. Pustaka Media Utama, 2006(
Carroll, Bradley W., dkk., An Introduction to Modern Astrophysics, (San Francisco: Pearson Education, Inc., 2007)
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989)
Djamaluddin, Thomas, Menggagas Fiqih Astronomi, (Bandung: Kaki Langit, 2005),
Djambek, Saadoe’ddin, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I , (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
Hambali, Slamet, Ilmu Falak 1, (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011)
................., Pengantar Ilmu Falak, (Yogyakarta: Bismillah Publisher Farabi Institute, 2012)
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 3,  (Surabaya : Yayasan Latimojong, 1981)
Hasan, Abdul Halim , Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana,  2006)
Ibn Hajjaj, Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1992)
Ibn Qudamah, Abdullah  Al-Mugni Jilid 3, (Beirut : Dar  ‘Alam al-Kutub,1992)
Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak, Teori dan Praktik, (Jakarta : Buana Pustaka, 2004)
Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Abu Abdillah Al-Umm, ( ttp : Dar al-Wafa, 2001)
Mushthafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi Jilid 1, (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiah, 1974)
Musonnif, Ahmad, Ilmu Falak: Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hakiki Awal Bulan, (Yogyakarta: Teras, 2014)
Qaradawi, Yusuf,  Fiqh Puasa, (Surakarta : Era Interrmedia, 2000)
Raharto, Moedji, Sistem Penanggalan Syamsyiah/ Masehi, (Bandung : Penerbit ITB, 2001)
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Jilid I, (Mesir: Darul Fatah li I‟lam Arabi, 1990)
Syaltout, Mahmud,  Fatwa-Fatwa, Jilid I, Terj. Fatawa,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1972)
Syarifuddin, Ahmad,  Puasa Menuju Sehat Fisik Dan Psikis, )Jakarta: Gema Insani, 2003(
Syihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2005)
Unit Falak Bahagian Penyelidikan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, Kaedah Panduan Falak Syarie, (Kuala Lumpur : Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2001)
Warson Munawwir, Achmad,  al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, )Surabaya : Pustaka Progressif, 1997(
Rizalludin,  Pemikiran Thomas Djamaluddin tentang Salat dan Puasa  di Daerah Dekat Kutub, Jurnal Al-Marshod : Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu Berkaitan.
Asmah Asfaumir, Waktu Sholat di Daerah Kutub, http://asmah1107.blogspot.com/2017/05/waktu-sholat-di-daerah-kutub.html Diakses pada 16 Februari 2020.
http://netsains.net/2008/12/mengapaterjadiperbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 09: 15 WIB.
http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.55 WIB.
http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.30 WIB.



[1] M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2005),  h. 570
[2] Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana,  2006), h. 521
[3] Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1992), No. Hadis : 965
[4] Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II,...,  No. Hadis : 966
[5] Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, )Surabaya : Pustaka Progressif, 1997(, h. 804.
[6] Ahmad Syarifuddin , Puasa Menuju Sehat Fisik Dan Psikis, )Jakarta: Gema Insani, 2003(, h. 43.    
[7]  Musthofa Al-Khin, Musthofa Al-Bugho, Al Fiqh Al-Manhajiy, Juz I, (Damaskus: Daar Al Qolam, 1428/2008), h. 331.
[8]  Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), h. 465.
[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz 2, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), h. 566.
[10]  Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, Ter. Masdar Helmi, )Bandung : C.V. Pustaka Media Utama, 2006(, h. 3.
[11] Abdullah ibn Qudamah,  Al-Mugni Jilid 3, (Beirut : Dar  ‘Alam al-Kutub,1992),  h. 4.
[12] Yusuf Qaradawi, Fiqh Puasa, (Surakarta : Era Interrmedia, 2000), h. 18.
[13] Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 3,  (Surabaya : Yayasan Latimojong, 1981), h. 128.
[14] Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II,…, No. Hadis : 1826
[15] Ibid., No. Hadis :1842.
[16] Ahmad Musonnif, Ilmu Falak: Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi dan Hakiki Awal Bulan, (Yogyakarta: Teras, 2014), h. 62.
[17] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Salat Fikih Empat Mazhab (Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiah, dan Hambaliah), (Jakarta: Hikmah, 2011), h. 20.
[18] Abdullah Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz II,...,  227-231.
[19] Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Al-Umm, ( ttp : Dar al-Wafa, 2001), h. 73
[20]  Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Salat Fikih ..., h. 20.
[21]  Al-Zamakhsyari, al-Kasysaf, An Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuhal-Tanwil, Cet. I,  (Mesir : Musytofa al-Babi al-Halabi, tt) h. 367
[22] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Salat Fikih..., h. 21.
[23] Ibid.
   [24]  Ibid, h. 22.
[25] Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, (Yogyakarta: Bismillah Publisher Farabi Institute, 2012), h. 202.
[26]  Slamet Hambali,  Ilmu Falak 1, (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011),  h. 136.
[27]  Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak…, h. 204.
[28] Khatulistiwa yaitu lingkaran besar yang membagi bumi menjadi dua bagian yang sama dan mempunyai jarak yang sama dari dekat kutub Utara dan dekat kutub Selatan. Khatulistiwa ini dijadikan permulaan perhitungan lintang (latitude) dan lintang ini adalah 0°. Dalam bahasa Inggris disebut Equator. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 105.
[29]  Saadoe’ddin Djambek, Salat dan Puasa di derah kutub, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 2.
[30] Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.30 WIB.
[31]  Muhyidin Khazin, Ilmu Falak, Teori dan Praktik, (Jakarta : Buana Pustaka, 2004),  h. 129.
[32] Lihat, http://my-dock.blogspot.sg/2013/03/sudut-deklinasi-dan lingkarandeklinasi.html. Diakses Pada  15 Februari 2020 Pukul 06.50 WIB.
[33]  Moedji Raharto, Sistem Penanggalan Syamsiah / Masehi, (Bandung : Penerbit ITB, 2001),  h. 17
[34]  Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapa-terjadi-perbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 06.55 WIB.
[35] Bradley W. Carroll, dkk., An Introduction to Modern Astrophysics, (San Francisco: Pearson Education, Inc., 2007),  h. 11
[36]  Moedji Raharto, Sistem Penanggalan..., h. 17.
[37]  Saving day light biasanya diterapkan di beberapa negara Eropa Barat, wilayah Amerika Serikat dan juga Canada, serta sebagian wilayah Australia, terutama untuk wilayah yang memiliki 4 musim dalam 1 tahun. Prinsipnya adalah memundurkan waktu 1 jam ke belakang sehingga waktu sore menjadi lebih lama dan waktu pagi menjadi lebih pendek. Misalnya normalnya saat ini jam 7, maka jam dimundurkan 1 jam menjadi jam 8. Lihat, http://netsains.net/2008/12/mengapaterjadiperbedaan-musim-di-bumi/. Diakses pada 15 Februari 2020 Pukul 09: 15 WIB.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] T Djamaluddin, Shalat di Daerah Sekitar Kutub dan Antariksa, makalah perkuliahan Hisab Kontemporer, Semarang, IAIN Walisongo, 11 Juni 2010 dan Shaum. Lihat, http://jayusmanfalak.blogspot.com/2011/04/telaah-ulang-penentuan-waktu-salat-di.html. Diakses 16 Februari 2020 Pukul 22.45 WIB.
[41] Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi, (Bandung: Kaki Langit, 2005), h. 138-139.
[42] Rizalludin,  Pemikiran Thomas Djamaluddin tentang Salat dan Puasa  di Daerah Dekat Kutub, Jurnal Al-Marshod : Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu Berkaitan, h. 122-123.
[43]  Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogykarta: Suara Muhammadiyah, 2007), h. 72. Lihat juga hadis Imam Muslim tentang turunnya Dajjal dan masa tinggalnya di Bumi. Al Imam Yahya bin Syarif an-Nawawi ad-Dimsyiqy asy-Syafi‟i, Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawî, Jus 17, (Beirut: Dâr al-Dekat kutub al-Alamiyyah, tt), h. 50-57.
[44] Mahmud Syaltout, Fatwa-Fatwa, Jilid I, Terj. Fatawa,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1972), h. 165.  
[45]  Wahbah Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu..., h. 551.
[46]  Saadoe’ddin Djambek, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, cet I , (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 16.
[47] Asmah Asfaumir, Waktu Sholat di Daerah Kutub, http://asmah1107.blogspot.com/2017/05/waktu-sholat-di-daerah-kutub.html Diakses pada 16 Februari 2020
[48] Ibid.
[49] Ibdi.
[50]  Ibid.
[51] Thomas Djamaluddin, Menggagas fiqh Astronomi..., h. 139.

[52]  Ibid.

[53]  Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, (Mesir: Darul Fatah li I‟lam Arabi, 1990), h. 463.
[54]  Unit Falak Bahagian Penyelidikan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, Kaedah Panduan Falak Syarie, (Kuala Lumpur : Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2001), h. 55.
[55]  Saadoeddin Djambek, Salat dan Puasa di Daerah Kutub..., h, 18.
[56]  Ibid.
[57]  Abdullah ath-Thayyar, Ensiklopedia Salat, Terj. A. M. Halim, (Jakarta : Magfirah Pustaka, 2006),  h. 158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar di bawah ini :

Universalitas Nilai Islam Pada Generasi Millenial Era Digital

       sumber gambar : republika.co.id.          Kajian mengenai sejarah peradaban Islam telah melalui dan mengalami beberapa periode, pada...