Selasa, 05 April 2022

Poligami dalam Berbagai Perspektif Fiqh Munakahat


Sumber gambar : sindonews.com.


Oleh : Alaik Ridhallah

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Tatanan kehidupan manusia yang didominasi kaum laki-laki atas perempuan sudah menjadi akar sejarah yang cukup panjang. Dalam tatanan tersebut, perempuan dijadikan sebagai the second human being yang berada dibawah laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk laki-laki, dan berakibat perempuan hanya di tempatkan di ranah dalam saja, sedangkan laki-laki berada di ranah publik.

Mereka menganggap bahwa poligami merupakan syariat dan di anjurkan dalam Islam. Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai istri 700 orang.[1] Akan tetapi setelah Islam datang Nabi Muhammad SAW membatasi umatnya untuk mempunyai istri empat dan selebihnya diceraikan.

 

B.      Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian poligami?

2.      Bagaimana batasan boleh dan tidaknya poligami?

3.      Bagimana problematika poligami?

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian

Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak dan gamein yang artinya kawin. Jadi artinya kawin banyk pada saat yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan). Dalam syariat Islam (hukum Islam), poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang diperbolehkan atau mubah.[2] Menurut Bahasa Indonesia, poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[3]

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami (pasal 3 (1) UU No. 1/74). Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa undang-undang ini menganut asas monogami.[4] Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3, yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Juga dalam surat yang sama ayat 129, yang artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kedua ayat tersebut menunjukkan kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri-istri terpenuhi. Syarat keadilan ini terdapat pada ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta, tidak akan dapat dilakukan. Namun demikian Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang keadilan di antara istri terpenuhi dengan baik.[5]

Karena dalam hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana pelaksanaannya, poligami dapat dilaksanakan manakala memang diperlukan dan tidak merugikan terhadap istri maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dan merincinya.

 

B.      Batasan Boleh dan Tidaknya Poligami

Pembolehan poligami diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat, pembatasan-pembatasan itu terdapat dalam:

1.      Pembatasan jumlah istri

Berpoligami itu dibolehkan apabila mempunyai dua orang istri, atau menjadi tiga orang istri, atau sebanyak-banyaknya menjadi empat orang istri. Tidak boleh lebih. Akan tetapi sebagian golongan Syiah berpendapat bahwa maksimum beristri banyak itu adalah dengan menjumlahkan angka dua tambah tiga tambah empat sehingga menjadi sembilan orang. Padahal hal itu tidak dibenarkan.

Petunjuk pembatasan tersebut disimpulkan dalam QS.An-Nisa:3 dan juga ditegaskan dengan sebuah hadits Rosul. Rosul menyuruh Gailan bin Salamah al-Tsaqafy yang baru masuk Islam dulunya ia seorang musyrik Mekah yang mempunyai istri sepuluh orang. Lalu Nabi menyuruhnya untuk menceraikan istri-istrinya dan hanya meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.

2.      Akan sanggup adil antara istri-istrinya

Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suaminya berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah, dan lain-lain, yang diwajibkan oleh Allah swt. Dalam hal ini hendaklah tidak ada ketakutan atau kekhawatiran bahwa suami tidak sanggup adil antara sesame istrinya itu. Kalau suami, dianggap mugkin tidak adil di antara istri-istrinya itu nantinya, dia tidak boleh kawin lagi untuk yang kedua atau seterusnya. Rasulullah bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka bardua, maka kelak di hari kiamat ia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.” (H.R. Ahmad Ibn Hanbal)

3.      Tidak ada hubungan saudara antara istri yang telah ada dengan calon istri yang akan dikawini lagi

Islam menetapkan poligami untuk memelihara keluarga Muslim dan memelihara kaum wanita, oleh sebab itu agama Isam melarang seorang laki-laki mengumpulkan dua orang wanita yang kakak-beradik, atau ibu dan anaknya, atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya. Itu semuanya adalah agar supaya keluarga Muslim itu dapat memelihara berlangsungnya kasih-sayang di dalamnya, dan mempersempit pengaruh perasaan cemburu agar tidak sampai melewati wanita-wanita yang bermadu itu, dan supaya rasa cemburu itu terarah menjadi perlombaan dan bukan menjadi alat silaturrohmi antara keluarga-keluarga yang dekat dan jauh.

Sebagai dasar peluasan ini dipergunakan alasan hadits Rasul. Rasul bersabda, yang artinya: “Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama-sama dengan bibik atau mak tuanya,” diriwayatkan oleh Abu Dawud.[6]

 

C.     Problematika Poligami

Poligami sebagai salah satu bagian dari perkawinan dan kehidupan keluarga jelas tidak akan lepas dari problematika yang melingkupinya sebagai layaknya kehidupan perkawinan dan keluarga.

1.      Problematika sebelum terjadinya Poligami

Problematika sebelum terjadinya poligami bagi laki-laki yang berpoligami antara lain adalah pemikiran yang melatarbelakangi poligami. Problematika keluarga yang paling sering dan lebih bersifat khusus adalah problem yang terjadi dalam hubungan antara suami dengan istri itu sendiri, baik yang menyangkut kemesraan hubungan antar mereka, kepuasan masing-masing pihak dalam kehidupan seksual dan problem lain yang menyangkut keduanya. Kemudian terkait sikap istri atau mertua yang kurang berkenan dihatinya , terlalu kasar, sering mengumpat, mencaci maki, mengecilkan arti dan peranan suami, menghina kekayaan suami atau harta asal-usul suami suami disbanding dengan hartanya sendiri atau warisan orang tuanya. Selain dua hal tadi, ada pula factor lain yakni istri menderita sakit yang sulit disembuhkan atau istri mandul. Dari hal-hal yang seperti inilah yang biasanya akan menyebabkan suami mempunyai niatan untuk berpologami.[7]

Problematika selanjutnya adalah usaha untuk mencari istri yang siap dimadu. Dalam mencari calon istri ini tidak lepas dari niatan poligami itu sendiri. Bila hanya sekedar untuk iseng biasanya suami tidak banyak hal yang dipertimbangkan. Lain jika niatnya untuk waktu lama atau berpoligami untuk seterusnyamaka akan lebih banyak hal yang dipertimbangkannya, tidak hanya melihat aspek lahiriyah saja.

Problematika berikutnya ialah ketika melakukan perijinan kepada istri tua. Bila istri tua menghendaki si suami untuk kawin tidak banyak masalah karena dia akan memeberikan ijin baik diminta atau tidak. Namun jika istri tidak menyetujui rencana poligami dari suaminya dan tidak akan memberikan ijin secara resmi bahkan menentangnya, inilah yang disebut dengan hambatan yang sekaligus menjadi problem yang harus ditangani oleh suami.

2.      Problematika keluarga poligami

Setelah suami benar-benar melaksanakan poligami, disitulah suami harus menghadapi sikap istri tuanya. Beruntunglah suami yang mempunyai istri tua tetap berhati mulia, namun juga ada pula istri tua yang marah-marah kepada madunya dengan anggapan bahwa madunya itulah sebagai biang keladi poligami. Dan kadang juga ada yang tidak kuat dimadu walaupun baru permulaan saja yang kemudian mengajukan gugatan perceraian, dan ujungnya juga akan berdampak pada anak-anak mereka.

Tidak jarang pula istri tua meminta suaminya untuk sesegera mungkin menceraikan madunya, atau problematika lainnya seperti istri tua langsung pulang ke rumah orang tua, saudara, atau tempat lainnya dan tidak berkeinginan untuk kembali.[8]

 

D.    D. Poligami dalam Perspektif Ulama

Tidak seorang ulama’ pun menolak adanya poligami dalam hukum Islam, tetapi karena keadilan dalam poligami sangat susah dilaksanakan, ada ulama’ yang menegaskan bahwa poligami pada dasarnya harus dihindari, kecuali ada alasan-alasan yang mengharuskan poligami dilakukan. Alasan utama yang tidak dapat dipungkiri adalah ketika Istrinya mengalami kemandulan atau cacat badan atau berpenyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri.[9]

Mayoritas ulama’ membolehkan pernikahan poligami, dan pandangan kebolehannya ini didasarkan pada ayat Al-qur’an yang menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, atau empat wanit yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat An-Nisa ayat 4.

Dalam pembolehan ini ulama’ mempunyai ikhtilaf pandangan terkait kobsep keadilan. Mayoritas ulama menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting, karena keadilan itu sendiri bersifat abstrak. Para ulama Sunni- Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah menegaskan bahwa dalam poligami tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta.

 

E.      Poligami dalam perspektif Responsif Gender

Perempuan sebagai istri oleh undang-undang maupun oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia berada dalam posisi dilematis,  jika mandul, suami boleh berpoligami atau kalau tidak diizinkan, ia akan menceraikannya. Sebaliknya jika suaminya yang mandul, tidak ada poliandri karena perkawinan tersebut dilarang oleh undang-undang maupun oleh ajaran agama, terutama hukum Islam, bila demikian halnya, istri yang tidak dapat memberikan keturunan semakin terjebak.[10]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

1.     Poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang;

2.      Banyak problematika yang terjadi dalam poligami, diantaranya;

3. Antara istri satu dengan yang lainnya saling sakit hati dan cemburu ketika si suami bermesraan dengan istri lain;

4.     Timbulnya permusuhan atau pertentangan antar istri-istri;

5.    Dalm poligami suami tidak diwajibkan berlaku adil dalam cinta, melainkan hanya dituntut dalam materi justru akan memperkeruh suasana; dan

6. Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada manfaatnya.

 

B.      Kritik dan Saran

    Demikian makalah yang dapat kami tulis. Kurang lebihnya mohon maaf, kritik, kekurangan-kekurangan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua, baik kepada pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardlawi, Yusuf. 2006. Sesungguhnya Engkau Semulia Bidadari. Yogyakarta : Diva Press.

Saebani, Ben Ahmad. 2001. Fiqh Munakahat 2. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Sahrani, Tihami Sohari. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta : Rajawali Pers.

Ahmad, Rofiq. 1997. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Suprapto, Bibit. 1990. Lika-liku Poligami. Yogyakarta : Alkautsar.

Al-Atthar,  Abdul Nasir Taufiq. Poligami. Jakarta : Bulan Bintang.

 



[1] Yusuf al-Qardlawi, Sesungguhnya Engkau Semulia Bidadari, (Yogyakarta : Diva Press, 2006), 180.

[2] Ben Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 2, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001), 151.

[3] Sohari Sahrani Tihami, , Fiqih Munakahat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), 351.

[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 169.

[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 170.

[6] Abdul Nasir Taufiq Al-atthar, Poligami, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 194-199.

[7] Bibit Suprapto, Lika-liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), 203.

[8] Bibit Suprapto, Lika-liku Poligami, 225.

[9] Ben Ahmad Saebani, 159.

[10] Ben Ahmad Saebani, 166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Komentar di bawah ini :

Universalitas Nilai Islam Pada Generasi Millenial Era Digital

       sumber gambar : republika.co.id.          Kajian mengenai sejarah peradaban Islam telah melalui dan mengalami beberapa periode, pada...