PENERAPAN
PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP
KEPUASAN PELAYANAN PUBLIK
Makalah Dipresentasikan
Dalam Mata Kuliah
Pendidikkan Kewarganegaraan
Oleh :
ALAIK RIDHALLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep
good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja
pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik.
Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif
serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim
terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan
antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan
era anti birokrasi, era anti pemerintah. Penerapan prinsip-prinsip good
governance sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan
kinerja aparatur negara. Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep
prinsip-prinsip good governance untuk meningkatkan potensi perubahan dalam
birokrasi agar mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu juga masyarakat
masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti
cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.
Gambaran buruknya birokrasi
antara lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang
tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri
sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program
belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah.
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi
pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang
bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi
sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi
ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga
masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara
tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik,
disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh
masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat
ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga
harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini
terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya
pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Dari latar belakang masalah yang muncul di
atas, maka pada kesempatan kali ini, kelompok kami akan menerangkan tentang Penerapan
Prinsip-prinsip Good Governance Terhadap Kepuasan Pelayanan Publik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Prinsip-prinsip dan Pengertian Good
Govermence ?
2. Apa Pengertian Pelayanan Publik ?
3. Bagaimana Realita Pelayanan Publik Terhadap
Kepuasan Masyarakat ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Good Govermence
Governance, yang
diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi,
politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat.[1] Tata pemerintahan mencakup
seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan
kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak
hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor
non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.[2] Definisi ini mengasumsikan
banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan
gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman
formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui bahwa
didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja
pada tingkat yang berbeda.
Lembaga Administrasi Negara
(2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah
negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan
menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara,
sektor swasta, dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1. Profesionalitas,
meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi
pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan
dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal
balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan
publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu,
kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah
dan disiplin.
5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung.
6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin
terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya
yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh
seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua
pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus
dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik
(good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1. Partisipasi (Participation): Setiap orang
atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang
sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil
keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada
stakeholders.
3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan
hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara
utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4. Transparansi (Transparency): Transparansi
harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat
dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap
intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak
yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi konsensus (consensus
Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik
bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang
terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan
prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik
akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam
upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and
Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui
pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9. Visi Strategis (Strategic Vision): Para
pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka panjang
tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan
dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
B.
Pelayanan
Publik
Pelayanan
adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi
langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan
menyediakan kepuasan pelanggan.[3]
Sementara
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayana sebagai hal, cara atau
hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan
makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima;
menggunakan).
Menurut
Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.
Sementara
itu istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum,
masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa
Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan
kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga
lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan
seluruh rakyat.[4]
Oleh karena itu pelayanan
publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Lijan Poltak Sinambela
mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara.[5] Negara didirikan oleh
publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi
haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah
kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan
oleh masyarakat. Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai
dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada umumnya.[6]
Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 tahun 2003 tentang
penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :
1. Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata
cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan yang mencakup :
a. Rincian biaya atau tarif
pelayanan publik.
b.Prosedur/tata cara umum,
baik teknis maupun administratif.
3. Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan
publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4. Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan
lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat,
dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
5. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni
memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
6. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja,
peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika.
C.
Realita
Pelayanan Publik Terhadap Kepuasan Masyarakat
Upaya
untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik
barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep
good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service
(pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan
sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan
publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang
tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang
kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar,
permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
1. reformasi birokrasi belum berjalan sesuai
dengan tuntutan masyarakat;
2. tingginya kompleksitas permasalahan dalam
mencari solusi perbaikan;
3. masih tingginya tingkat penyalahgunaan
wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja
aparatur;
4. makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi
masyarakat dalam kebijakan publik;
5. meningkatnya tuntutan penerapan
prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi,
akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6. meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan
tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7. rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan
kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan
(manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing
public services values mengatakan bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah
bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong oleh sejumlah nilai.
nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat
memberi pelayanan publik.
Terkait dengan pernyataan tersebut ada
beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain suatu
naklumat pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni
1. kesetaraan
2.
keadilan
3. keterbukaan
4. kontinyuitas
dan regualitas
5. partisipasi
6. inovasi
dan perbaikan
7. efesiensi
8.
efektifitas[7]
Dengan
metode tersebut penerapan prinsip good governance
dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.
Penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good
governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk
kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses
dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan
penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan
elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena
merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam
pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan
seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring
asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui
berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan
kebijakan.
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen
pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan
masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang
dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance)
dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan
dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat,
dan meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa
pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non
perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk
melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan
mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani
adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan
signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan
publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga
menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan
pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen
pemerintahan yang kurang baik.
Kinerja
manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara
lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial
atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya
untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya
komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan
kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak
Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan
pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan
pelayanan terpadu satu atap seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota solo
yang secara tegas memberlakukan kebijakan tersebut misalnya dalam pembuatan KTP
yang biasanya dalam pengurusan KTP tersebut membutuhkan waktu sekitar dua
minggu, yang dilakukan oleh walikota solo adalah dengan cara mebuat efesien
pelayan pembuatan KTP itu hanya dengan satu jam saja.
Walikota
Solo (Jokowi) juga menmbuat semacam
kartu jaminan kesehatan bagi warga miskin yang sudah terdata secara
komputerisasi dan sehingga dalam pelayanan kesehatan tersebut warga di kota
Solo tidak lagi harus membuat surat tanda tidak mampu dari RT maupun
kelurahannya karena sudag terdata secara baik dan benar.[8]
Meningkatnya
kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen
pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk
menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan
publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap
meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya
pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen
pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang
berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan
perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak
kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan
atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di
semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam
pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan
masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada
jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan
pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma
good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder
pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah
mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan
kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma
good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era
otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen
pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan
serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk
memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, bahwa
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan
seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di
lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah
pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good
governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal
ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang
ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus
masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan
bagi setiap instansi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta perlu dilakukan evaluasi
secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima
cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan:
Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu
atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik,
Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang
berkecimpung di pelayanan publik.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik,
memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain
menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang
lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang
berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang
baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan
pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik,
serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek
pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan
pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis
dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong
kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan
swasta).
Daftar Pustaka
L.P. Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta, Bumi
Aksara, 2010
Pandji
Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance,
Bandung: PT. Reflika Aditama, 2008
Sampara Lukman, manajemen Kualitas Pelayanan, jakarta, STIA
LAN Press 2000
artikel “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata
Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, dalam buletin
informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia,
2000
jurnal I Made Sumadana, mewujudkan good
governance dalam system pelayanan publik, Widyatana vol 2 2007 FISIP UNR
Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul
“Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku
HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (2000), Jakarta
: Komnas HAM
http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/05/26/8878/27/Solo-Memang-Beda/
[1] Dikutip dari artikel “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata Pemerintahan
Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, dalam buletin informasi Program
Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 200
[2] Dikutip Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good
governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM :
Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (2000), Jakarta :
Komnas HAM
[7] Dikutip dari jurnal I Made
Sumadana, mewujudkan good governance dalam system pelayanan public fisip UNR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Komentar di bawah ini :